Ujian 2: Ambition

64 28 4
                                    

No one can make you feel inferior without your consent.” – Eleanor Roosevelt

***

Suasana minggu terakhir menjelang PAS semakin terasa menegangkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suasana minggu terakhir menjelang PAS semakin terasa menegangkan. Para murid semakin memforsir diri mereka mencari batasan lalu melampauinya hingga tubuh mereka telah mencapai batas maksimal. Guru-guru les privat semakin disibukan dengan pelatihan gila atas tuntutan para orangtua. Para anak kehilangan waktu istirahatnya selain tidur di malam hari.

Hari demi hari semakin disibukkan dengan soal latihan yang tak masuk akal. Sebuah nilai sempurna yang digadang-gadang menentukan masa depan menjadi target utama atas hilangnya rasa empati. Orangtua tak mempedulikan kondisi mental dan psikis anak,  mengatasnamakan masa depan dengan tujuan menciptakan sebuah karya masterpiece untuk dibanggakan. Padahal anak juga manusia yang memiliki kehendaknya sendiri.

Peran orangtua yang besar dalam perkembangan anak membuat para anak-anak juga memiliki pola pikir yang sama. Melupakan bahwa mereka juga manusia yang dapat lelah, memaksa tubuh bekerja secara ekstra hingga jatuh sakit. Belajar tanpa mengenal rasa lelah hingga merelakan masa remaja mereka. Sosok anak yang selalu diharapkan para orangtua—anak yang berprestasi, giat belajar, penurut—gambaran anak yang sempurna tanpa cela, padahal nyatanya semua itu adalah tampilan anak yang rusak.

Ruang kelas XI.A berjalan dengan senyap. Para murid memperhatikan penjelasan dari guru dengan saksama. Mata mereka menatap dengan cermat dan konsentrasi penuh agar tak ada sedikitpun materi yang tak mampu mereka pahami. Jari jemari mereka sibuk menari dengan pulpen yang mereka genggam erat. Pembelajaran berjalan dengan baik tak ada sesi tanya jawab.

Penjelasan materi berjalan selama 30 menit dengan waktu yang begitu singkat itu mereka harus mengerjakan 50 soal matematika dalam kurun waktu 1 jam.

Begitu guru mapel selesai membagikan soal latihan dan timer mulai berjalan, kini pandangan mereka beralih menatap serangkaian soal dengan saksama. Mungkin saja ada yang kesulitan dengan soal yang diberikan, namun mereka memilih untuk diam dan mengerjakannya sembari berserah dengan peruntungan mereka.

Kelas XI.A tersihir sunyi. Hanya ada suara detak jam yang menjadi pusat pendengaran mereka. Tak ada aksi tambahan tak penting yang mereka lakukan, semuanya duduk diam dengan soal yang separuh telah mereka kerjakan. Waktu terus berjalan, menyisakan 20 menit bagi mereka.

Mungkin mereka tengah tergesa-gesa, takut jika waktu memakan mereka. Jantungan yang berdetak kencang, keringat yang bercucuran, konsentrasi yang mulai buyar dan sorot mata yang bergetar hebat telah menarik perhatian seisi kelas. Seorang siswi yang duduk tepat di pojok kiri depan mulai menunjukan ketakutannya begitu hebat. Dilanjut oleh siswa yang duduk di belakangnya mengadukan tindakan mencontek.

Pukul 08.10 bersamaan dengan Iria dan Iana yang telah selesai mengerjakan latihan soalnya dan seorang siswi dihukum tanpa ampun.

Gadis itu terdian ketakutan, tubuhnya bergemetar hebat sembari meremas kertas ulangannya. Berapa kali guru mapel memarahinya untuk menyerah namun gadis itu tetap menurut mulutnya  dan tak mau beranjak dari kursinya.

"Aozora Dechen, Ibu memberi kamu satu kesempatan lagi, menyerah atau mau Ibu seret paksa?"

Aozora menolehkan sedikit kepalanya, melirik kearah Iria yang duduk di kursi deretan kedua barusan ketiga. Iria yang tengah ruang gembira itu menaikkan sedikit alisnya sembari tersenyum tipis. Tak cukup dengan tatapan, mimiknya bergerak mengumat-amitkan sebuah pesan kemenangan kepada Aozora.

Don't, play, with, fire

Jantung berdebar hebat, jemari terasa membeku dan mati rasa, sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Mulutnya terkunci hebat, matanya tak berkedip bahkan tak mampu mengalihkan pandangannya dari tatapan Iria. Tubuhnya bergemetar tak karuan bahkan dia sampai mengepalkan tangannya sekuat tenaga dan menggigit bibir cantiknya untuk mengatasi rasa gemetarnya. Bibirnya memerah bak di poles lipstik padahal itu adalah darah.

Geram dengan siswinya yang diam tak berkutik, Mrs. Leian menarik paksa tangan kanan Aozora, menyerahkan keluar dari kelas. Kebisingan seketika tercipta, suara tawa renyah dilontarkan dari mulut para murid. Tatapan sinis nan merendahkan tersirat dengan jelas. Beberapa siswa dengan sigap mengeluarkan ponselnya dan merekam momen 'langka' bagi mereka. Mereka tertawa dengan raut gembiranya, seakan tengah menyaksikan Commedia Dell'arte.

Pintu dibuka—dibanting—dengan kencang, menciptakan kebisingan dan menarik perhatian murid kelas lain.

Ketakutannya semakin membesar. Terlalu takut hingga rasa takutnya menjadi sebuah amukan. Aozora menahan gerak tubuhnya, berusaha memberontak dari  cengkraman Mrs. Leian.

Suasana semakin tak terkendali, teman sekelasnya tak lagi mempedulikanmu Aozora sebagai teman kelasnya. Mereka merekam, memotret Aozora yang tengah gila. Sangat tajut, hingga ketakutannya memicu dirinya untuk melakukan hal gila. Gadis itu memberikan kuda-kuda, bersiap untuk menendang Mrs. Leian. Namun, sebelum tendangan itu berhasil mendapat, Aozora sudah terlebih dahulu mendapat tamparan kelas.

"Perilaku tak terpuji itu bukanlah perilaku murid VARENDRA, Aozora Duchen!"

Aozora menghentikan perlawanannya. Tubuhnya mulai melepas, bola matanya bergemetar hebat begitu juga dengan tubuhnya. Detik ini, dirinya nampak seperti cangkang kosong.

Tak menunjukan kembali tanda-tanda perlawanan, Mrs. Leian dengan cepat langsung membawanya menuju ruang guru.

Ruang kelas XI.A kini menjadi pasar dalam sekejap. Lupa bahwa semenit yang lalu ruang kelas begitu tegang dengan mereka yang sibuk mengerjakan soal latihan, kini justru menjadi begitu ricuh, sibuk dengan ponselnya dengan memposting kejadian yang beru saja terjadi. Tak peduli dengan temannya lagi, masa bodoh dengan hari esok milik Aozora, apa yang penting bagi mereka sekarang adalah jumlah pengikut akun sosial media.

Mereka tertawa terbahak-bahak dan dia berpaling dengan wajah yang seperti terbakar dan jemari yang terasa sedingin es.

Bahkan jika temanmu telah membuat kesalahan bukankan sebaiknya tetap tidak melontarkan sebuah senyum sinisnya. Layaknya pertemanan palsu, awalnya saling menolong baju membahu, lalu berakhir dengan saling menggigit. Seakan pertemanan adalah hal yang murah jika hilang dapat dicari dengan mudah.

Tadi pagi masih teman yang saling menyapa, sekarang bagaikan musuh yang saling merendahkan satu sama lain. Mau sampai kapan, kamu berteman dengan para anjing hutan ini, Iana?

***

Selain terkenal dengan muridnya yang berprestasi dan sistem pendidikan yang bagus, sekolah VARENDRA juga terkenal dengan tagline-nya: adil, jujur dan beradab.

Biasanya mereka yang ketahuan mencontek akan dirobek kertas ulangannya lalu diseret keluar kelas dengan paksa. Bagi para murid di sana, mencontak adalah aib, hal yang sangat memalukan bagi mereka.

Sekolah yang terkenal melahirkan generasi emas anak bangsa dan tempat berkumpulnya para sendok emas itu adalah tempat yang indah untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Jika wadahnya sudah bagus, bukankah taruhannya harus dinaikan? Jadilah sempurna tanpa cela, atau 'mereka' akan mencelamu.

IMPARTIALWhere stories live. Discover now