14. Korban Lainnya

204 34 8
                                    

Kalau ditanya siapa orang paling bebas di dunia, maka jawabannya hanya Zhong Chenle seorang.

Huniannya yang mengalahkan istana. Tingginya yang melampaui Namsan tower. Luasnya yang mengungguli gelora sepak bola. Megahnya yang menyalip Burj Khalifa. Dari semua yang disebutkan, seharusnya Chenle tak lagi merasa kekurangan. Kalau bisa dinilai, pelayanan rumahnya mencapai bintang tujuh. Mengalahkan hotel ternama sekalipun.

Satu-satunya yang diramal menjadi penerus, kini tengah mengungkang-ungkang kakinya. Ditumpu pada sebuah meja kaca yang mengkilapnya hampir mengalahkan berlian. Digoyang kanan-kiri, tangannya memeluk satu box penuh berondong jagungnya yang tidak biasa. Isinya meluap-luap. Warnanya menggiurkan hati; emas. Popcorn Berco's yang mana sengaja ditaburi emas 23 karat, dibandrol 474 dolar Amerika, kamu pasti tak akan berlapang dada untuk mengunyahnya.

Layar kacanya yang tak patut disebut begitu—sebab ukurannya yang teramat besar—ramai mendendangkan riuh sorakannya yang tak pernah melenyap. Acara favoritnya tengah ditayangkan. Pertandingan basket menegangkan antara Golden State Warriors—yang mana menempatkan Stephen Curry—melawan Orlando Magic.

Matanya mengerling sekilas. Jam dindingnya yang punya desain Romawi kuno itu telah mengantar jarumnya untuk berpulang pada angka 8. Hujan agaknya masih terus nyaman mengguyur. Tapi Chenle gagal mendengar hantaman airnya yang menenangkan. Hening, sunyi, senyap, istananya sekedar dipenuhi oleh tontonannya sendiri.

Ini berat untuk diakui, tapi Chenle tak terlalu dibuat tergiur untuk menjadi saksi kemenangan idolanya sendiri.

Curry di dalam layar kacanya masih bermandikan keringat. Dia mengoper, tubuhnya meliuk-liuk mengagumkan. Melindungi bola oranye di bawah kuasanya sendiri bagai seorang ayah yang mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi putra kesayangannya. Dia menawan. Tingginya menjulang, membuat leher orang-orang yang susah payah menatapnya nyaris putus saking tak kuatnya mereka mendongak terlalu lama. Kokoh, kuat, dia nampak amat sangat sehat dari penampakan tubuhnya yang kekar.

Biasanya Chenle tak pernah gagal dibuat jatuh terlarut ke dalam pesonanya. Tapi kali ini, salah satu syarafnya agaknya ada yang mulai rusak. Euforia dan dukungan yang seharusnya membara, tak meluncur secuil pun dari mulutnya. Digantikan sarat kekhawatiran yang kian menguat.

Kepalanya menoleh. Rintik-rintik hujannya menyapa netra lewat jendelanya yang tinggi semampai. Terkaannya semakin memperburuk hatinya.

Seandainya rintik hujan di luar sana, anginnya yang menusuk tulang, atau temaramnya malam menawarkan diri untuk menyampaikan kekhawatirannya, Chenle tak akan dibuat segundah ini.

Lagi-lagi tentang Park Jisung.

Si bocah laki-laki yang punya banyak teka-teki terkubur. Tersembunyi, amat sangat rahasia dan sialnya menarik rasa kepenasaran Chenle. Awalnya cuma 10%, lama kelamaan melunjak jadi 15%, 20%, 25%, 50%, sampai nyaris menembus angka 99%.

Separuh benaknya dipenuhi tampang menyebalkan milik Jeon Seongju. Bertanya-tanya siapa sosoknya sebenarnya. Kenapa Jisung nampak amat membenci eksistensinya? Bahkan untuk mengakui, dia dibuat enggan. Sementara sisanya sibuk melalang-buana melukis dugaannya sendiri. Pertanyaannya simpel, Jisung sekiranya sedang apa saat ini?

Kemudian otaknya merespon dengan potongan-potongan scene memilukan. Siapa tahu sobat barunya tengah nelangsa terdampar di halte, menanti-nanti tumpangannya yang tak kunjung tiba. Siapa tahu dia tengah meringkuk sedih, menggigil dengan bibir pucat mengerikan. Siapa tahu Park Jisung tengah dilanda kesulitan.

Chenle bukan sekedar menanti-nanti. Dia berupaya. Lima pesannya meluncur menanyakan kabar Jisung sesungguhnya. Tapi sampai menit ke-30 semenjak pesannya dikirim, si bocah Park itu belum juga membawa kabar.

Shy Shy Jwi ✔️Kde žijí příběhy. Začni objevovat