20. Jisung; Misteri

158 30 1
                                    

Selama 17 tahun, Park Jisung sungguh-sungguh berusaha untuk tidak lengah.

Namanya kebohongan. Sebuah monster mengerikan tak kasat mata yang menjanjikan sebuah ketenangan sesaat lewat untaian kalimat palsu untuk menutup-nutupinya. Mangsanya bukan lagi satu dua orang. Jumlahnya kian banyak. Efek sampingnya berupa penyesalan mendalam usai melakukannya. Beberapa orang memilih untuk berbohong dengan alasan melindungi dirinya sendiri—jika konteksnya merugikan diri. Mereka melepas tuduhan hanya dengan kata-kata pengalih kebenaran.

Seharusnya Jisung sadar bahwa dirinya bukan seseorang yang andal menciptakan kebohongan. Lucunya, lawannya ini Zhong Chenle. Orang cerdik yang bahkan berhasil mengendus kuburan masa lalunya. Dia yang menguak. Dia yang menyelesaikannya. Tapi Jisung malah main-main dengan si kancil.

Makin banyak kebohongan yang diumbar, makin banyak pula kadar kecurigaan Chenle terhadap dirinya. Maka, Jisung jelas tak punya opsi lain selain menyerah.

Chenle mengekor di belakangnya. Dambaannya yang pertama masih tetap eksistensi orang tua si sobat. Tatapan itu bagai laser. Menyapu bersih semua ruang bahkan sampai celah-celah yang ukurannya sebesar jempol kaki sekalipun. Chenle memindai. Mencoba mengendus kehadiran orang lain selain dirinya. Tapi hasilnya masih tetap berpaku pada nol.

Rumah ini sepi.

"Orang tuamu?" Kata itu mengudara. Menuntut Jisung atas kebohongannya yang gagal melindungi diri.

"Ini masih siang. Mereka belum pulang." Jawaban yang masih sama persisnya kembali Chenle dapat.

"Jadi, kenapa mereka ngelarang kamu buat keluar rumah? Ada acara? Kalaupun ada, seharusnya sekitar 3 jam ini kamu bisa belajar bareng aku. Setahuku orang tuamu pulang larut kan?"

Jisung enggan menanggapi. Ketimbang membuka mulut, dia lebih tertarik untuk bungkam. Sebab ketika satu kebohongannya diumbar, kebohongan yang lainnya pasti turut mengiringi. Tak mau lebih dalam lagi terjerumus ke dalam lubang kebohongannya, Jisung mengenyahkan.

Tubuh semampainya membungkuk. Tangannya meraih sepasang sepatunya yang mulai kumal. Tuk. Kemudian ditata di singgasananya sendiri. Bersanding dengan selop warna biru langit di sisi kirinya, sepatu itu disimpan.

"Kamu pasti kesepian banget kalau orang tuamu nggak ada di rumah." Chenle menerawang. Menerka-nerka konsekuensi apa yang mungkin saja terjadi. "Apa rencanamu kalau aku nggak ke sini?"

Jisung melangkah. Menciptakan jarak yang kian lama kian melebar. Bunyi ceklik pintu mengudara. Chenle masih suka menebak. Itu pasti kamar Jisung. Si empu masuk ke dalam sana bersamaan dengan kepalanya yang menoleh. "Paling cuma tiduran sama makan mie, mungkin?" Setelah kalimat itu mengalun, bersanding dengan gesekan angin yang berhembus, Jisung ditelan pintu kamarnya.

"Hei, itu nggak sehat." Sok tahu layaknya nenek-nenek yang amat sangat berpengalaman, Chenle menegur. Kakinya masih setia mengekori langkah si empu rumah. Dia menyusul masuk. Menemukan Jisung yang separuh tubuhnya tersembunyi karena jeblakan lemarinya. "Nggak belajar? Aku tahu kamu udah cukup pinter makanya mau males-malesan kayak gitu. Tapi tetep jangan lengah dong."

Selagi Jisung memilah tumpukan bajunya, Chenle bergerak maju mendekati sebuah meja di pojok ruangan. Ada banyak macam buku yang ditata di sana; kamus bahasa Inggris, panduan kimia, latihan soal-soal fisika, buku panduan matematika, juga tak terlewat sebuah buku setebal kayu jati yang mengupas lengkap sejarah Korea Selatan.

"Wah, kamu baca semua ini? Berapa kapasitas otakmu?" Chenle menarik keluar buku sejarah yang menjadi tumpuan buku-buku lain di atasnya. Keningnya mengernyit tak suka ketika beban di tangannya terasa amat berat. "Aku tertarik buat tahu sejarah Korea Selatan paling lengkap, tapi liat bukumu, aku udah mau kolaps duluan. Kamu pasti habis banyak uang buat beli semua buku ini." Chenle nyaris bergidik saat benaknya iseng mengira-ngira berapa total bobot semua buku itu jika ditimbang. Mengerikan, mungkin nyaris menyentuh angka 30 ton.

Shy Shy Jwi ✔️Where stories live. Discover now