01. Seterang Bintang

1.6K 189 83
                                    

Dunia ini bisa baik atau buruk—tergantung bagaimana caramu memandang.

Bagi Zhong Chenle, si konglomerat asal China, dunia ini lebih indah daripada sekuntum mawar yang tengah mekar-mekarnya atau hamparan putih bersih yang dihias oleh barisan-barisan tulip di sebuah lapang. Senyumnya tak pernah berhenti diulas. Tawanya renyah memabukkan meski terkadang memuakkan saking keras volumenya menggema.

Apa itu sedih?

Zhong Chenle bahkan belum pernah bertemu dengan yang namanya kesedihan. Mungkin pernah tapi sesekali? Cukup ampuh dihitung dengan jari-jemarinya. Chenle bukan manusia yang hobi terlarut dalam dukanya. Ketimbang menukikkan bibir ke bawah, Chenle lebih suka menyakiti telinga orang dengan gelegar tawanya.

Sekilas, Chenle mirip seorang bocah 5 tahun yang kerjaannya hanya tahu bagaimana cara mengalahkan musuhnya dalam permainan. Jiwanya kompetitif namun rendah hati. Sikapnya yang supel dan kelewat jujur, berhasil menyulap semua mata untuk terjun menyukainya. Sosoknya disegani tapi ia tak pernah nyaman menduduki tahta terhormatnya sebagai cucu penerus yayasan sekolahnya sendiri.

Dimana-mana, seiring kakinya melangkah, cuitan yang isinya sekedar basa-basi keramahan tak pernah absen menyapa rungunya. Mereka bilang, hai Chenle apa kabar? Hai Chenle, makan apa hari ini? Hai Chenle makin ganteng aja atau hai Chenle kekayaannya udah nambah berapa milyar won?

Mereka menyukai si konglomerat. Reputasinya baik meski tukang kebun dimintai pendapat tentang perilaku Zhong Chenle.

Chenle punya banyak teman—tentu saja. Kebaikan atau keramahannya menjadi poin utama untuk mereka-mereka menggaetnya sebagai seorang teman. Bukan cuma satu perkara yang diawali dengan, Chenle! Ayo temenan, besok kita jalan-jalan ke Hangang gimana? Kemudian berujung, Chenle, maaf aku bilang gini tapi serius aku nggak tahu harus ngomong ke siapa lagi, bisa nggak kamu pinjemin aku uang? Aku janji minggu depan bakal balikin.

Si mata wayang yang diduga-duga sebagai pemegang yayasan berikutnya pun sama sekali tak keberatan. Kepalanya tinggal mengangguk, tangannya tinggal menyerahkan lembar uang yang diminta lantas ketika sang peminjam mengingkari janjinya, mulutnya tinggal mengatakan tidak apa-apa. Besoknya, Chenle tak akan mengungkit dan mereka malah melupakan seakan itu bukan hutang atau sesuatu yang bisa membebani hidup nantinya.

Tapi serius, Chenle tidak keberatan.

Chenle lapang dada ketika mereka mendekat walau mayoritas menobatkannya sebagai bank cadangan ketika mereka mulai digerogoti oleh siksaan finansial. Mendapat banyak teman itu luar biasa menyenangkannya. Sayangnya, yang bertemu pasti akan berpisah. Teman-temannya tak akan pernah terus bersama dirinya walau janji sempat diudarakan. Kalau takdir telah bertindak dan alam menyetujui, Zhong Chenle si konglomerat kebanggaan orang sekitarnya itu bisa apa?

Seandainya takdir bisa ditulis sendiri dengan imbalan uang, Chenle pasti sudah lama turun tangan untuk melakukannya. Konyol, itu mana mungkin terjadi? Walau uang kian besar potensinya membinasakan manusia sebab berusaha mengaisnya, tapi mengubah takdir bukan sebuah hal yang bisa dibayar.

Kali ini, Chenle keberatan. Sahabat tersayangnya mendeklarasikan bahwa hari ini dia benar-benar harus meninggalkan bumi Korea. Terbang bersama awan yang akan menyapa netranya. Pulang menuju kampung halaman, rumahnya yang sebenarnya.

Liu Yangyang namanya. Meski pernah mengutarakan bahwa dia lebih memilih hidup bersama anjing-anjingnya ketimbang bersama Chenle, tapi tak elak itu sebatas candaan. Sebab, lihat dia. Agaknya yang segera meninggalkan pun masih berat hati untuk menyaksikan sang sobat ditinggalkan.

"Ngapain sih pulang kampung segala? Perlu aku bangunin rumah yang mirip kayak yang di China?"

"Seneng banget akhirnya aku nggak bakal denger omongan songong itu lagi." Yangyang mencibir kecil. "Nggak usah sok sedih, anjingmu sekarat aja kamu masih bisa cengengesan. Apalagi ini cuma aku yang mau pulang ke China bukan ke akhirat."

Shy Shy Jwi ✔️Where stories live. Discover now