24. Monster dalam Mimpi

114 23 6
                                    

Suaranya yang mirip siulan melengking itu menyambangi udara. Detik jamnya masih mengalun, melengkapi secelah jeda yang sekali-kali membentang. Sangkar sunyi itu roboh tapi hanya untuk 10 menit lamanya. Kemudian, ketika si ketel senyap tak lagi mendendangkan instruksi mendidihnya air di dalam sana, dia diangkat. Isinya dituang ke dalam gelas bening yang lalu dibawa pergi.

Jisung menilik. Dini hari sementara di luar sana gelap masih belum menunjukkan tanda-tanda kepergiannya. Matanya tiba-tiba dipecut untuk terus melotot. Rasa kantuknya hilang. Mimpi buruk sialan itu benar-benar mengusir waktu rehat yang seharusnya.

Maka, Jisung merebah di atas sofa yang kulitnya mulai mengelupas. Tuk, gelasnya disimpan di atas meja. Tangannya giliran meraih remot. Dalam sekon berikutnya, layar kaca yang dinaungi keremangan itu menyala sempurna. Ibu jarinya berperan besar untuk menangkap channel menghibur. Mendorong potongan mimpi yang mengerikan jadi dia bisa melupakannya semudah membalikkan telapak tangan.

Tik, ganti. Tik, ganti. Tik, ganti.

Sampai berakhir pada hembusan nafas berat yang tak nyaman untuk didengar. Punggungnya merebah pada sandaran sofa. Tangan kirinya menyibak surainya yang terkadang jatuh nyaris menenggelamkan penglihatannya.

Memilih televisi untuk ditonton dini hari bukan opsi yang bagus. Seharusnya Jisung tahu bahwa di pukul itu, semua berita akan ditayangkan tanpa jeda. Yang mana membawa artian bahwa dia dipastikan segera mendapat kegagalan untuk tujuan menghibur diri.

Sekali lagi, mata itu mengerling ke jendela. Masih rapat tertutup tirai biru gelap. Tidak ada apa-apa di luar sana. Sekedar malam yang biasanya menyapa bumi diiringi nyanyian burung hantu samar atau gonggongan anjing bermeter-meter jauhnya.

Apa yang harus ditakuti?

Benda pipih yang ukurannya pas di tangan supernya itu dicampakkan; remote tv. Jisung meraih gelasnya. Teh hangat itu disesap. Manisnya yang pas dan suhunya yang membawa kehangatan untuk menyelimuti, sedikit ampuh melahirkan benih-benih kenyamanan. Pelan-pelan, takut yang tidak beralasan itu mulai pamit undur diri.

Saat obsidian gelapnya berkeliaran bak seekor kucing yang tertarik mengikuti perginya kupu-kupu cantik, Jisung menimbang-nimbang. Ponselnya terbaring tepat di sisi kiri remot tivinya. Kemudian tanpa alasan yang jelas, seseorang muncul berikut sebuah ide yang mengelibat sekilas.

Zhong Chenle. Dini hari begini, kira-kira dia masih bangun atau meringkuk lucu layaknya seekor anak anjing yang kedinginan?

Tubuh itu terdorong ke depan, menggapai ponselnya lalu kembali terduduk nyaman dalam posisi malas-malasan. Cahaya lain yang asalnya dari ponsel menyorot wajah. Si sobat Cina tampil dalam sebuah jepretan foto yang tepat dipasang sebagai profil. Tahu-tahu, Jisung bimbang.

Hubungi, tidak. Hubungi, tidak. Hubungi, tidak. Hubungi?

Jemari itu terangkat satu per satu untuk memutuskan lewat cara sederhananya. Lucunya begitu sampai pada keputusan akhir, kepala itu malah menggeleng.

Nggak, ah. Kasihan barangkali dia udah tidur.

Maka, Jisung berniat mengacuhkan ponselnya. Bukan masalah besar. Lagipula dia masih punya layar kaca yang siap menyapanya dengan 1001 kebosanan.

Tapi tiba-tiba, coba kirim chat deh.

Goyahnya ia malah menarik tali kesepakatan yang berbeda. Di pojok kanan, ibu jarinya siap menekan icon pesan untuk mengarahkannya pada obrolan. Mungkin sekedar pesan pendek yang mana isinya panggilan kecil atau ucapan selamat malam? Seandainya si konglomerat itu tiba-tiba membuat ponselnya berdenting, berarti itu takdir kecil yang sedang bersahabat dengan seorang Park Jisung.

Shy Shy Jwi ✔️Where stories live. Discover now