13. Hai, Kesedihan

203 37 9
                                    

"Oh, Park Jisung?"

Menurut kalian, apa itu masa lalu? Sebuah masa dimana kisah dikubur dalam-dalam atau sebuah masa yang bisa kamu pamerkan sebagai ajang membanggakan diri di masa depan?

Terkadang, satu dua orang dihadiahi skenario pahit yang sulit ditelan bulat-bulat. Menorehkan luka pedih sampai membekas jelas dan sulit disingkirkan. Bukan cuma kisahnya, tapi juga tempatnya, suasananya dan siapa pelakonnya. Beberapa orang menganggap masa lalunya sebagai musuh. Dimana ketika mereka datang, semua yang tengah ditapaki mendadak terburai. Mulanya sebuah kesedihan yang menaungi, lama-lama hadir pula yang namanya kebencian, kemudian berakhir pada trauma berat yang mencekik.

Seiyeon, Jeon Seongju dan sekelumit kisah yang membelit adalah masa lalu yang paling Jisung benci. Dia benci orang-orangnya di masa lalu. Dia benci dirinya sendiri yang tak berani bertindak. Dia benci dirinya sendiri yang tetap berlagak sok tidak peduli padahal batinnya meraung keras.

Sekarang, salah satu masa lalu yang menyakitkan itu kembali tanpa ia undang. Tahu-tahu, Jeon Seongju mendekat bersama seragamnya yang diperciki air hujan. Beberapa bagian tubuhnya basah. Dia mengibas-ngibaskannya. Sampai ketika netranya menciptakan kontak, dia menegur Jisung.

"Park Jisung kan? Yang dulu pernah aku kasih jawaban waktu ujian?" Seongju menuding. Membuat si empu nama menunduk. Jisung kalang kabut. Berusaha menyembunyikan penampakan wajahnya sementara Chenle dibuat terbengong-bengong. "Wah, kamu beneran pindah ke sekolah elit ini? Apa kabar?"

Jisung masih membisu. Tubuhnya berubah, posisinya menyamping. Kepalanya masih nyaman ditundukkan. Sesak yang pernah menggandrunginya, menyiksanya lewat torehan cerita hidupnya itu tahu-tahu membuncah tinggi. Dia terguncang. Jisung belum siap untuk serangan ini.

"Jisung?" Seongju melongok ke bawah. Seakan dia seorang kawan lama yang baik hati berniat mengadakan reuni kecil-kecilan. "Ini aku, Jeon Seongju. Coba liat wajahku dulu. Masa kamu nggak inget?" Kekehannya mengudara.

Pelan, Jisung mencicit. "Nggak." Katanya nyaris kalah oleh derasnya hujan yang menghantam tanah dengan ganas.

Jawaban itu bagai sambaran kilat. Seongju membeku. Kulitnya seakan baru saja disetrum. Dia tak bereaksi untuk beberapa saat. Lantas kepalanya menoleh. Gelak tawanya menyusul dengan terpaksa ketika netranya bersitatap dengan si pemuda seputih susu.

"Wah Jisung. Candaanmu makin nggak bermutu aja. Jangan kayak gitu dong, itu agak sedikit menusuk. Hatiku sakit nih." Dia berlagak. Tangannya berlabuh di dadanya sendiri. Seolah sebuah belati tajam baru saja menancap di sana dan merobek dadanya habis-habisan. "Kita kan temen deket. Pernah berbagi jawaban ujian, pernah makan es krim bareng juga. Nggak mungkin kamu lupa. Iya kan?"

Park Jisung tak pernah menyukai salah satu tokoh masa lalunya sama sekali.

Alih-alih menyingkirkan dendam yang sempat membungkus raganya, Jisung malah dibuat sebaliknya. Ketika kalimat-kalimat itu menyapa rungunya; pernah berbagi jawaban ujian, pernah makan es krim. Keduanya punya arti kelam untuk Park Jisung. Bukan sebuah kisah manis remaja dimana pertemanannya nampak warna-warni layaknya permen kapas yang menggiur hati. Tapi mirip kakao yang sering dibenci banyak orang karena rasanya yang pahit. Dua kalimat yang melesat dari Seongju bukan sebuah kenangan yang patut dipamerkan.

Jeon Seongju, si manusia yang tengah berkedok malaikat untuk menyingkirkan aura iblisnya itu tak lebih dari seorang laki-laki perusak mimpi kawannya sendiri. Dia menjadi satu-satunya alasan terbesar bagi Jisung untuk melarikan diri dari masa lalu.

"Jisung, kamu kenal dia?"

Chenle yang agaknya mulai lelah mengamati, memilih untuk tak lagi bungkam. Kepalanya menoleh, berusaha menangkap pancar sinar dari matanya yang tersembunyi rapat.

Shy Shy Jwi ✔️Where stories live. Discover now