09. Sang Tuan Kesalahan

265 54 4
                                    

Sementara.

Orang bilang, semua yang ada di depan matamu saat ini sekedar tipuan ilusi yang mana bisa lenyap dalam satu kedipan mata. Dunianya, orang-orangnya, semestanya yang punya banyak cerita—semua itu cuma sementara. Seharusnya mereka mengerti, paham bahwa memang seperti itulah cara hidup bekerja. Tuhan mengingatkan insan-Nya, bahwa yang kekal hanya Dia. Mengajarkan tentang rasa sakit ketika kamu dipaksa merelakan sesuatu. Tapi lucunya, kenapa masih ada segelintir manusia yang tersedu-sedu, meringkuk bagai janin tak berdaya kala mereka ditinggalkan oleh sesuatu?

Toh, katanya semua itu cuma sementara.

Kalau ditanya siapa makhluk paling ajaib, siapa makhluk paling aneh, siapa makhluk paling lucu, Jisung tak akan pernah menjawab alien atau badut atas pertanyaan itu. Dengan tegas, dia dipastikan akan menjawab, manusia. Semua pertanyaan di atas, menjurus pada yang namanya manusia. Makhluk yang katanya paling mulia sebab dikaruniai akal. Bisa memilih mana yang benar mana yang salah.

Orang-orang itu bilang, manusia-manusia menggelikan itu bilang, kebahagiaan juga termasuk salah satu hal yang tak akan bisa abadi menemani jalannya hidup. Kekasihmu, hartamu, tahtamu, keluargamu, semuanya akan ditarik ketika ketuk palu benar-benar tercipta. Maka, saat itu kamu tak akan bisa melakukan apa-apa. Sebab Dia telah menjatuhkan kehendak.

Jisung tergelak. Menertawakan seberapa lucu dirinya sendiri. Dia mulai beranjak dewasa. Seorang pemuda yang tingginya sedikit tidak wajar ketimbang anak-anak seumurannya. Seorang pemuda yang tahu seberapa kelamnya dunia yang tengah ia pijak. Seorang pemuda yang seharusnya tahu bahwa seberapa kerasnya pun dia memohon, yang namanya kebahagiaan tetap akan pergi pada waktunya.

Hari ini, Jisung melangkah. Busnya belum tiba. Sambil menunduk, dia menemukan kerumunan semut yang saling mendampingi. Mungkin mereka sempat berikrar untuk saling melindungi walau badai siap menghanguskan segalanya. Walau angin ditiup sampai menerbangkan mereka semua lantas tercerai-berai.

Seekor kucing ikut melangkah. Jalannya pelan. Kepalanya ditolehkan ke beberapa arah. Terkadang mengendus sesuatu, berusaha menemukan kebahagiaannya. Sekedar remahan roti pun ia lebih dari bersyukur manakala perutnya sibuk berdendang menggemakan keroncongan aneh.

Ketika Jisung mendongak, burung-burung itu nampak bebas. Tanpa sangkar, mereka indah mengepakkan sayap. Tak punya larangan apapun untuk mengembara. Terbang ke belahan bumi mengukir sejarahnya masing-masing.

Hai semut, sudahkah kamu merasa kehilangan? Sudahkah kamu berjalan seorang diri tanpa teman hari ini? Atau sudahkah kamu merasa kesakitan sebab kaki-kaki besar itu menginjak dirimu yang sama sekali tak mengukir dosa?

Hai kucing, sudahkah kamu diusir dengan cara yang kejam? Sudahkah kamu dienyahkan layaknya makhluk pengganggu yang tak pernah dihargai? Sudahkah kamu disayang seseorang hari ini?

Hai burung, sudahkah kamu dipaksa tinggal di dalam sangkar mengerikan yang mengekang? Sudahkah kamu diburu untuk diawetkan? Atau sudahkah kamu merasa sedih sebab berkelana seorang diri dengan sayap yang kian melemah?

Seandainya Jisung menguasai bahasa hewan. Kucing, semut, burung, kerbau, kambing—semuanya ia jadikan teman dengan catatan mereka menjadi kawan hidup yang setia. Bukan seorang makhluk parasit yang hanya andal memanfaatkan dirinya sebagai muaranya kebahagiaan mereka sementara ia menderita. Bertabur luka tak kasat mata namun serangannya membutakan segalanya.

Nafas beratnya dihembuskan.

Hatinya memberat. Tungkai kakinya juga ikut memberat. Tapi tak ayal, sebuah harapan yang besarnya seukuran biji jeruk masih bisa nampak. Jisung masih bisa mendapati itu. Tertanam di dalam jiwanya walau sesekali kian meredup.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang