23. Monster Deonghwa

126 23 5
                                    

Dulu, ketika Jisung ditanyai tentang hari apa yang dianggapnya menjadi momen terburuk sepanjang hidup, maka Jisung akan menjawab, semua momen dimana dirinya diharuskan menerima rentetan nilai atau rangkuman prestasinya di dalam rapor. Fakta pahit itu pasti datang. Mulanya membawa desiran bimbang, disusul rasa kecewa yang menggebu sampai akhirnya menyeretnya pada jurang kekecewaan, lagi.

Kalau dimintai kejujuran, Jisung dengan lirih tapi tidak mau dikasihani, akan menjabarkan bahwa rasanya memuakkan. Tak pernah dibuat puas oleh usahanya sendiri. Dia ingin menghukum dirinya, memberinya pelajaran agar tidak lagi menyongsong yang namanya kegagalan. Tapi sulit. Yang tinggal hanyalah benih keputusasaan. Lama-lama dipupuk, disiram dengan kegagalan lalu, gugurlah ia.

Tapi coba tebak. Hari ini Jisung seakan kehilangan rasa muaknya. Momen terburuk itu, ia singkirkan memori kelamnya. Tidak, tidak kali ini. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Terlalu kuat perasaan itu memenuhi benaknya, Jisung dibuat gugup.

Jisung menanti-nanti. Jemarinya membawa getaran kecil. Telapak tangannya nyaris penuh keringat yang terus memaksa untuk membasahi. Bibirnya sekali-kali digigit ketika kepalanya menoleh. Menangkap berbagai macam reaksi selepas menerima selembar kertas dari sang guru di depan sana.

Kemudian, "Park Jisung."

Tiba. Ini gilirannya. Satu senyuman diulas, tapi malah kian menggetarkannya. Tungkai itu terus diayunkan. Tidak, jangan terus tersenyum. Senyum itu, senyum yang mana tak bisa Jisung artikan, benar-benar terasa mengganggu. Sekelumit memori yang tahu-tahu melintas di benaknya, berperan bagai iblis. Dia menggoda, menggoyahkan keyakinannya.

Jisung sampai. Dan kertas pun diserahkan.

"Selamat." Senyum itu berubah menjadi semakin lebar. Lewat binar matanya, Jisung akhirnya menemukan itu! Sesuatu yang dia cari-cari selama ini. Sesuatu yang berusaha ia raih sampai tak mengenal jatuh bangun; bangga. Jisung melihatnya. Binar bangga itu menguar karena dirinya.

Kepalanya menunduk. Ini terlalu mirip dengan candaan atau setidaknya bunga tidur yang kelewat indah. Sembilan! Angka sembilan ada dengan jelas di pojok lembar kertas ujiannya. Anak itu terpaku. Tidak membawa reaksi sekecil apapun. Tetap menunduk selagi genggaman di kertasnya kian menguat.

Oh seperti ini rasanya. Seperti ini bahagianya relung saat apa yang diinginkan dari dulu, pada akhirnya digapai. Dadanya meletup-letup. Sekarang rasanya ada sebuah taman bunga terindah yang memenuhi relung dadanya.

"Selamat! Park Jisung jadi anak yang punya nilai tertinggi." Kalimat itu diudarakan untuk kali keduanya. Membawa riuh tepuk tangan yang kedengarannya candu untuk Jisung. Bersama satu tepukan di pundak kirinya, Jisung ditarik sadar. "Kerja bagus. Yang lainnya, jangan diulang kesalahan yang sama. Kalian bisa tanya ke Jisung gimana cara belajar yang ampuh atau minta penjelasan kalau ada bagian yang kurang dimengerti." Sahutan tak bersemangat menggema barang 5 detik lamanya. "Kamu boleh duduk, Jisung. Pertahanin terus ya."

Jisung mengangguk. Benaknya keras memerintah untuk melakukan balasan lewat senyumnya yang setidaknya sedikit melintang. Tapi kaku, dia tidak bisa. Maka, kepalanya mengangguk. Tumitnya diputar kemudian ia berpulang pada bangkunya. Menyapa Chenle dengan riang gembira layaknya seorang bocah yang dihadiahi sekotak permen.

"Selamat. Jangan lupa traktir aku hot pot." Chenle menagih entah sebatas candaan atau memang serius.

"Hot pot kemahalan. Jangan itu." Jisung menggeleng. Menyatakan ketidak-sanggupan atas pinta Chenle yang terlalu berat.

"Kalau gitu aku yang traktir kamu." Si Cina dengan gampangnya mengambil keputusan seolah itu bukan masalah besar.

Tapi Jisung dengan keras, menolak. "Nggak! Nggak bisa gitu. Aku yang seharusnya traktir kamu. Hot pot ya? Call!" Pada akhirnya yang benar-benar menjadi sebuah keputusan adalah persetujuan.

Shy Shy Jwi ✔️Where stories live. Discover now