17. Langkah Pertanggungjawaban

150 34 1
                                    

Barangkali yang disebut simulasi siksaan di neraka nanti adalah bentuk dari sinar baskaranya yang terlalu memanggang kulit, tungkai yang abot untuk diayunkan padahal marabahaya tengah ganas mengancam, bulir keringat yang kian memperparah segalanya dan perasaan ingin terkapar pingsan untuk beberapa saat ke depan, maka Jisung tengah merasakannya. Setidaknya, kalau tidak tepat dipanggil simulasi, Tuhan mungkin tengah berusaha mengingatkan insan-Nya tentang keberadaan-Nya. Lewat panas yang menyulut itu, mereka hanya bisa mengakui bahwa tak ada panas yang sepanas ini selain milik Tuhan.

Trotoarnya penuh akan debu tebal yang menyelubungi. Ketika angin berhembus kencang—brsss—itu sebuah kiamat kecil untuk Jisung. Matanya refleks ditutup rapat-rapat tapi gagal. Kurang cepat sehingga debu-debu yang ia benci itu lebih dulu melesak masuk ke dalam matanya. Memenuhi ruang-ruang sempit di kelopak matanya dengan sensasi mengganjal dan perih yang luar biasa. Kakinya berhenti melangkah. Kepalanya terayun ke belakang sebelum bunyi hachu yang lantang ikut mendominasi siksaannya. Kacau, rinitisnya kambuh.

Rumah, aku butuh rumah.

Tak ada yang lain selain paksaan untuk ia pilih. Maka, walau beratnya beratus-ratus ton sekalipun, Jisung masih melangkah. Tubuhnya merebah ketika halte bus menjadi tempat berlabuhnya untuk sesaat.

"Kamu kasihan banget. Kayak orang sekarat."

Bariton itu bukan sebuah sesuatu yang asing. Terlalu dekat dan terlalu jelas untuk ia dengar. Itu suara milik Kim Hoseung. Pelan, kelopak matanya dibuka sedikit-sedikit bagai tirai yang tengah disibak oleh bocah menggemaskan.

"Matamu merah banget! Serem, zombi aja kalah!" Dia menuding. Pekikannya mengudara lantang. Menarik atensi seorang wanita karir kepala 4 untuk ikut menilai penampakan buruk Jisung hari ini.

Jisung menunduk. Buku-buku jarinya dikerahkan untuk mengucek kelopaknya. Berusaha memaksa butir-butir debu sialan itu untuk keluar dari matanya yang terjamah. "Ah, ini kelilipan."

"Jangan dikucek terus. Retinamu bisa copot." Dia menegur. Sebersit nada yang asing dan belum pernah dilempar sebelumnya, mengudara.

Jisung benar-benar menghentikan tingkahnya. Dia mendongak. "Yang tadi itu aku nggak salah denger?" Dia memastikan. Tak ingin terjerat ke dalam rasa percaya dirinya seorang-orang.

Tapi, yang ditanya malah melengos. "Belahan jiwamu mana? Nggak pulang bareng dia?"

"Chenle? Katanya ada urusan." Tak banyak mempermasalahkan julukan Hoseung untuk Chenle (walau dia dibuat geli), Jisung mencoba mengenyahkan. "Yang barusan, kamu kasihan atau sekaligus khawatir retinaku copot?"

Satu nafas panjang ia tarik. "Itu sindiran biar kamu ngucek mata terus."

"Sedikit nggak masuk akal." Jisung mengudarakan gumamannya. Ibu jari itu terangkat, mengusak gemas hidungnya sendiri yang mungkin telah berubah warna bagai kepiting rebus. "Jadi, kamu mau lihat retinaku copot supaya kamu puas?"

Hoseung menoleh. Pupilnya membulat meski tak terlalu besar. Seakan tak punya rasa ketertarikan, wajah datar itu menyaingi tebalnya tembok tanpa ekspresi. "Apa kelihatannya aku sejahat itu?"

Jisung menelisik. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari Kim Hoseung untuk menegaskan bahwa sosoknya adalah seorang siswa badung yang ahlinya memancing keributan. Paling-paling dinilai dari tubuhnya yang terlalu kekar untuk remaja seumurannya dan penampakan wajahnya yang sedikit boros. Alisnya yang setebal permadani raja itu hinggap di atas mata sipitnya yang terkadang berkilat marah. Lewat tatapannya, Jisung menemukan secuil kisah antagonis yang melekat untuk seorang Kim Hoseung. Mirip adiknya, Kim Eunseung yang punya nilai sama untuk wajahnya.

Sekedar itu, tidak lebih.

Tapi di mulutnya, ada banyak gudang rahasia tempat kata-kata kasar ditempatkan. Lewat ucapannya, dia bisa menusuk. Tajamnya melebihi parang. Sakitnya menyaingi kulit yang dirobek paksa. Senjata utama itu tersembunyi di dalam mulutnya. Tepat pada lidahnya, sebuah kebaikan atau kejahatan ditentukan lewat itu.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang