33. Broken Childhood I

119 24 1
                                    

Namanya waktu. Sesuatu yang menjadi satu-satunya alasan mengapa dunia kejam ini bisa berjalan. Menggores banyak kenangan. Menorehkan banyak rentetan cerita. Bergulir, dari tiap detiknya, ke menit, ke jam, ke hari, ke bulan, lalu ke tahun. Sesuatu yang selalu ada mendampingi tapi kamu tidak terlalu menyadari. Sesuatu yang amat dibutuhkan. Sesuatu yang amat disesali bila manusia mengabaikannya. Garis besarnya adalah sesuatu yang mustahil dikembalikan kehadirannya bila sudah terlepas.

Waktu membawa banyak kisah. Tidak usah muluk-muluk, masa muda misalnya. Sebuah saat yang mana amat dinanti-nantikan anak-anak dan sebuah saat yang paling dirindukan mereka orang-orang yang mulai senja.

Katanya, masa muda itu bagian paling terbaik dari sebuah rangkuman cerita hidup. Kamu bisa mengerti tentang bagaimana dunia sesungguhnya. Tidak usah khawatir, masa muda itu saat yang tepat bila kamu merindu dengan yang namanya kebahagiaan. Identik dengan kebebasan yang membawa segala beban hidup seakan melenyap walau dalam satu kedipan mata.

Seandainya ada seseorang, menghampirimu, membawakanmu sebuah pertanyaan, "ada yang lebih baik dari masa muda?"

Ada. Untuk sebagian orang, mereka dilanda kenestapaan kala tak bisa merasakannya. Saat bocah-bocah menggemaskan dengan pipinya yang menyerupai mochi tengah saling berebut robot atau ketika salah satu di antaranya jatuh sementara yang lain sibuk menderaikan tawanya.

Masa kanak-kanak. Beberapa orang kehilangan masa itu. Beberapa orang terhantuk akan kenyataan berat karena tak sempat merasakannya. Beberapa orang yang direnggut oleh kejamnya waktu tidak bisa merengek, meminta dirinya menyusut untuk kembali ke masa lalunya.

Dan Park Jisung salah satunya.

ꗃꠂꠥ

15 November 2011

Kotak kardus menjadi satu-satunya objek yang paling mendominasi. Di sana, di tengah-tengah ruangan, kotaknya dijejer asal-asalan. Kemudian, bagai kuncup bunga yang mekar membawa sejuta kebahagiaan, sosok mungil muncul dari tumpukan kardusnya. Dia berdiri. Tangan kanannya mengangkat tinggi-tinggi si jagoan kesayangannya; Iron Man. Mulutnya mengerucut. Mengudarakan bebunyian semacam terpaan angin.

"Wuussss." Tubuh mungilnya meliuk-liuk. Menukik ke atas. Pura-pura berkelit ke samping ketika musuhnya mengejar dari belakang. Berusaha menggapai-gapainya untuk dilumpuhkan.

"Tunggu aku Iron Man! Kamu pasti kalah! Rawrr!"

Jisung—yang kini berguling-guling laksana trenggiling—tak terlalu menyadari ancaman sang musuh. Berjarak satu jengkal, kawannya menerjang. Tapi Jisung lebih dulu bangkit. Jadi si bocah berambut batok—Lee Sol—tersungkur. Mengeluh pelan sebab keningnya mendarat kasar.

"Aww, sakit." Dia terduduk. Membiarkan sang Hulk di genggaman tangan kirinya dibiarkan nelangsa. Kepalanya menunduk. Tangan kanannya terangkat meraba-raba keningnya sendiri. Barangkali ada sesuatu yang paling ia benci—warna merah pekat dan baunya amis menjijikkan—keluar dari sana.

Jisung dengan hati mulianya segera menghambur. Dia jongkok, berusaha memerankan seorang dokter dadakan untuk pasiennya. "Kepalamu kenapa? Sakit banget? A-aku minta maaf."

Kehilangan ketenangannya, Sol menyendu. Dia mulai terisak. "Huhu, sakit banget. Kepalaku bocor kayaknya. Huhuhuhu."

Kalimat itu bagai serangan anak panah yang terus menghujam. Menghabisi semua kewarasan Jisung yang masih tersisa. "K-kalau gitu aku tambal, ya? Eu-eum, pakai kain! Iya kain! Tunggu sebentar, Sol." Tubuh mungilnya bangkit. Masih setia menggenggam Iron Man-nya, dia melesat masuk ke dalam rumah.

Shy Shy Jwi ✔️Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα