27.

216 53 53
                                    

"Bertaut"
.
.
.
.
.

Jika saja bisa mencegah perpisahan, aku ingin sekali mendekap laki-laki di hadapanku ini dengan erat agar dia tidak pergi jauh dariku. Sayangnya aku tahu, tak seharusnya aku menahannya di sini. Dia juga harus kembali mengurus keperluannya di Malang dan Solo.

Beberapa kali Mbak Mey menenangkanku, namun aku tidak bisa berhenti menangis. Rasa cemasku kian merasuk menggerogoti hati hingga aku terus saja mengenggam jemarinya dengan erat.

"Nanti lahiranku, kamu bakalan pulang kan Dhis?" tanya Mbak Mey pelan.

Aku menggangguk kecil sebagai jawaban. "Ranu pasti bakalan balik ke kamu, tak jamin kali ini. Aku nggak bakalan biarin Bekantan rawa ini lari lagi masuk lumpur," mendengar gurauan Mbak Mey perlahan senyumku terulas lebar.

Hari ini Ranu berangkat bersama rombongan. Sedangkan sepedah motor, laki-laki ini akan mengirimkannya ke Malang via ekspress.

Ranu perlahan mendekapku erat, mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan. "Aku bakalan balik setelah semuanya selesai, jangan cemas. Kali ini aku nggak akan biarin kamu berjuang sendirian," ucapnya meyakinkan. Aku menatapnya lekat, bisa kulihat iris hitamnya memancarkan kesungguhan yang membuatku mengangguk tipis sebagai jawaban.

Gibran yang sejak tadi berdiri di sampingku perlahan mendekat pada Ranu, adikku itu memeluk Ranu erat. "Jangan buat Mbak-ku nunggu lama Mas, awas aja ingkar tak cari kamu sampek ke ujung dunia!" ancamnya dengan delikan mata yang malah membuat semua orang tertawa.

Aku tersenyum tipis. Lagi Ranu mengusap kepalaku pelan. "Inget kataku, harus makan yang banyak, harus happy," pesannya yang membuat aku mengangguk kecil.

Aku tak banyak bicara, yang kulakukan hanya merangkum wajahnya dalam memori kenanganku yang seakan tak pernah penuh hanya untuk laki-laki ini.

"Mbak pamit, jaga kesehatan, mukamu pucet gini!" ucap Mbak Mey sambil mengusap pipiku pelan.

"Iya Mbak," jawabku seadanya.

Dari dalam mobil Mas Wahyu, Mas Didit, Nita dan Rafli melambai padaku dengan senyuman lebar. "Nggak usah khawatir, kita ada di team kamu!" seloroh mereka dengan kompak.

Membuat Ranu mendecak keras. Namun decakan itu berubah menjadi senyuman hangat untukku. Di usapnya pipiku pelan. "Aku pamit ya, Bran jagain Mbak," pinta Ranu yang di jawab anggukan mantap Gibran.

Tangnku yang sejak tadi menggenggam Ranu perlahan terlepas kala laki-laki jangkung itu sudah masuk kedalam mobil.

Gibran merengkuhku erat. "Jangan nangis Mbak, senyum dong!" pintanya sambil tersenyum lebar padaku.

Aku mengangguk pelan. Melambaikan tangan ku berikan senyuman lebarku pada laki-laki itu yang terus menatapku dari balik jendela mobil yang perlahan mulai menjauh.

.

Kegiatanku sejak kepergian Ranu beberapa jam yang lalu membuatku memilih berada di kamar seharian ini, aku terus memandangi foto kami. Aku pun juga terus menunggu balasan chat laki-laki itu yang tak kunjung mendapat balasan.

Ketukan pintu yang cukup beruntun membuatku segera membuka pintu kamar kala Gibran segera menarik tanganku untuk menuju ruang tamu.

Titik Temu [ PROSES TERBIT ]Where stories live. Discover now