15.

221 55 69
                                    

"Terlambat."
.
.
.
.

#Adhisti.
.
.
.

Deru kereta api yang berhenti, serta suara speaker dari pusat informasi yang berbunyi nyaring membuatku berlari kesana kemari untuk mencari sosoknya yang tak dapat ku temukan di manapun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deru kereta api yang berhenti, serta suara speaker dari pusat informasi yang berbunyi nyaring membuatku berlari kesana kemari untuk mencari sosoknya yang tak dapat ku temukan di manapun.

Sejak kedatanganku ke studio Ranu. Aku tak lagi dapat menemukan laki-laki itu. Mas Didit yang saat itu tengah melakukan pemotretan mengatakan bahwa Ranu yang memang harusnya berangkat lusa memutuskan berangkat hari ini karena mendapatkan telfon mendadak dari solo, Mas Didit tidak mengatakan alasan Ranu pergi, laki-laki itu hanya mengatakan mungkin Ranu belum berangkat jika aku segera ke stasiun.

Dengan tekad aku membawa sepedah matic Mbak Mey membus kemacetan kota malang dengan sedikit perasaan was-was. Aku takut nggak bisa menemukan laki-laki itu lagi.

"Nu, jangan pergi." gumamku putus asa.

Lima belas menit perjalananku, akhirnya aku sampai di depan stasiun dengan langkah kaki lebar-lebar aku beberapa kali memanggil nama Ranu. Membuat beberapa orang menatapku dengan pandangan aneh, kemelut hati yang tak bisa ku bendung, membuatku acuh akan pandangan orang. Yang terpenting aku bisa menemukan Ranu.

Memasuki setiap gerbong kereta api yang akan berangkat ke Solo. Aku tak dapat menemukan Ranu. "Dimana kamu Nu." bisikku pelan.

Sungguh apa aku masih bisa waras, jika harus kehilangan kamu untuk kedua kalinya Nu.

Mataku menyipit begitu menemukan sosoknya tengah duduk di dekat jendela sambil bertopang dagu.

"Nu." panggilku dengan suara bergetar.

Ranu perlahan memalingkan muka ke arahku. Wajahnya begitu terkejut melihat kehadiranku.

"Kenapa pergi tanpa pamit lagi?" tanyaku yang terdengar seperti sebuah bisikan.

Laki-laki itu hanya bisa menunduk. Perlahan tubuhnya bangkit untuk berjalan ke arahku. Tepat di hadapanku jemarinya mengusap pucuk kepalaku dengan pelan.

"Maafkan aku Dhis." sesalnya. Senyumnya perlahan terkembang tipis. "Aku harus pergi, Mas Lutfi butuh aku." nada bicara Ranu yang terdengar begitu lirih membuatku terus menatapnya lekat-lekat.

Apa yang membuatmu begitu terluka Nu? Beban apa yang tengah kamu emban, sehingga membuat senyummu hilang?

"Mas Lutfi kenapa?" tanyaku masih dengan menatapnya lekat-lekat.

Ranu menatap ke segala arah. Bisa kulihat matanya memerah, urat leher Ranu yang jelas terlihat, membuatku percaya bahwa laki-laki ini tengah menyimpan dukanya sendiri.

Perlahan ku beranikan menggenggam tangan besarnya yang begitu dingin. "Kamu bisa berbagi sama aku." ujarku berusaha meyakinkan bahwa dia tak sendiri sekarang.

Titik Temu [ PROSES TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang