14.

194 47 48
                                    

"Pergilah kasih."
.
.
.
.

#Arsaka.
.
.
.

Kejadian yang mendewasakan diri ketika kamu mampu melepasnya untuk membiarkan dia bahagia.

Hampa yang menyelimuti ruang kosong ini membuatku meringkuk di atas kursi dengan tatapan nanar.

Rencananya rumah ini yang nantinya akan aku huni dengan Adhis setelah menikah. Awal merencanakan perniakahan, kami sepakat ingin belajar mandiri dengan tidak bergantung pada kedua orang tua.

Jadilah kami sepakat membeli rumah sederhana yang dekat dengan tempat mengajar Adhis di daerah Klojen. Lokasinya yang stategis, serta dekat dengan kantor membuat kami tak sabar untuk segera menempati rumah yang masih kosong ini.

 Lokasinya yang stategis, serta dekat dengan kantor membuat kami tak sabar untuk segera menempati rumah yang masih kosong ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Senyumku terukir kecut. Bahkan baru sebulan lalu kami ke sini untuk memajang foto-foto kami agar terlihat lebih hidup kata Adhis.

"Mas, ini bagusnya di taruh ruang keluarga atau ruang tamu? Pas nggak sih?"

"Mas, diem aja seh! Aku nanya lho."

"Mas nanti aku pengen interiornya sesuai keinginanku aja biar keliatan hidup. Soalnya kalo ikut kamu ntar rumahnya kayak goa coklat sama abu-abu semua!"

Suaranya yang masih menggema di dalam otakku membuat tangisku kembali luruh. Aku terlambat menyadari, bahwa selama ini dialah yang benar-benar mampu membuatku lepas dari bayang Ririn.

Ke khilafanku yang kembali menjalin hubungan dengan Ririn membuat aku yang selama ini terus menatap Adhis harus terpaksa membaginya dengan Ririn. Selain karena Lavina. Ririn pun selalu mengadu bila dia tak bahagia bersama Angga.

Salahku yang terlalu lemah jika melihat air matanya jatuh. Tanpa kusadari ada seorang wanita yang hidupnya telah ku buat menderita.

Wanita yang sudah mengorbankan seluruh hidupnya untukku. Namun si tak tahu diri ini malah menghancurkan masa depan kami.

"Bang, sampai kapan mau meratapi kepergian Adhis?" tanya Mama dengan nada lelah.

"Aku nggak bisa kehilangan Adhisti Ma!" ku genggam erat jemari tua Mama, menatapnya penuh permohonan.

Mama menggeleng pelan. "Hari ini kedua orang tua Adhis bakalan ke rumah Bang. Mama harap kamu bisa menerima keputusan kedua orang tua Adhis. Bagaimanapun juga Mama seorang wanita, Mama pun akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi orang tua Adhis." Mama perlahan mendekapku dalam dekapannya. "Maafkan Mama yang tanpa sengaja membuat Adhis pergi dari hidup kamu." bisik Mama sambil terus mengusap kepalaku.

Titik Temu [ PROSES TERBIT ]Where stories live. Discover now