09

207 50 87
                                    

"Hatiku kamu."
.
.
.
.

"Mas piye kabare?" [ Mas gimana kabarnya? ] tanya Gibran yang kini sudah ikut bergabung denganku.

Ranu tersenyum lebar, di acaknya rambut adik laki-lakiku yang tingginya hanya sebatas leher Ranu. "Wes gedhe ae arek iki." [ sudah besar saja anak ini ] jawab Ranu dengan logat malang yang masih terasa aneh bila ku dengar.

"Yo mosok cilik terus Mas." [  ya masa kecil terur Mas. ]  keduanya tertawa, meninggalkan Saka yang hanya bisa menatapku dalam diam di samping Gibran.

"Mas, ajari aku maen basket yo? Pengen jago main basket kayak kamu aku Mas, aku juga mau tinggi. Siapa tau aja kan degem pada naksir." ucapan Gibran membuatku mendecak beberapa kali.

Ranu justru tertawa keras. "Yakin mau jadi muridku? Aku galak Bran!"

Gibran mengibaskan tangannya acuh. "Selagi Mbak Adhis ikut, yakin Mas nggak bakalan berani galakin aku."

Melihat ke akraban Gibran dan Ranu senyumku terulas tipis. "Kog bawa-bawa Mbak?" tanyaku tak terima.

Ranu dan Gibran saling pandang untuk beberapa detik, sebelum senyuman mengejek, mereka berikan padaku. "Soalnya Mbak Adhis lebih galak dari Kak Rose-nya Upin-Ipin."

Mereka berdua tertawa nyaring. Membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Ehmm, kamu kenapa bisa pulang bareng Ranu Yang?" tanya Saka yang membuat tawa Gibran dan Ranu terhenti.

"Kebetulan saya tadi ketemu Adhisti di jalan Mas." jawab Ranu sopan. Aku belum menceritakan kepada Ranu bahwa aku telah memberitahu Saka tentang hubungan kita dulu.

"Oh, makasih Nu. Tapi lain kali bisa telfon saya aja? Soalnya nggak enak juga, nanti kalau ada yang sampai lihat Adhis pulang sama cowok lain padahal sebentar lagi akan menikah kan ndak etis. Saya menghindari omongan yang nggak enak nantinya di masyarakat." ucap Saka panjang lebar.

Ranu tersenyum tipis. "Siap Mas, kalau gitu saya pamit Mas, Dhis, Bran." pamit Ranu yang hanya bisa ku jawab anggukan kecil.

Selepas kepergian Ranu, Gibran lebih memilih masuk kedalam rumah. Kini hanya ada aku dan Saka.

"Kamu kenapa ngomong gitu ke Ranu?" tanyaku penuh tuntut.

Saka terkekeh dengan gelengan tak percayanya. "Sadar nggak sih kamu udah buat orang rumah khawatir? Ibuk sama Ayah nanya apa kamu sama aku, jelas aku khawatir dan langsung nyari kamu. Tapi ngeliat kamu pulang dengan senyuman lebar. Sudah jelas aku tahu kamu  lagi seneng-seneng sama mantan kamu itu." ucapan Saka berhasil menohok hatiku.

Tanganku mengepal mendengar tuduhannya. "Aku capek, kita bicara besok aja." putusku.

Baru beberapa langkah, Saka sudah mencekal pergelangan tanganku.

"Bisa nggak sih berhenti ngehindar terus Adhisti! Kamu bukan gadis remaja yang setiap ada masalah harus kabur-kaburan gini, Orang yang bener-bener dewasa bakalan nyelesain semuanya dengan kepala dingin." mendengar kata bijak keluar dari mulut Saka, aku hanya mampu membalasnya dengan tertawa hambar.

"Orang dewasa yang kamu maksud itu Mbak Ririn?" tanyaku dengan penuh tantang.

Saka melebarkan matanya begitu mendengar ucapanku. "Kamu kenapa bawa-bawa Ririn kedalam masalah kita? Semua ini nggak ada sangkut pautnya sama dia. Ini masalah kamu dan aku Adhisti!!" seru Saka dengan nada frustasi.

Titik Temu [ PROSES TERBIT ]Where stories live. Discover now