Titik Temu [ PROSES TERBIT ]

11

"Tak mungkin bersama."
.
.
.
.

#Ranu
.
.

"Mas ayok bal-balan!" teriak anak-anak dari tengah lapangan.
[ Mas ayok main sepak bola. ]

Mendengar ajakan anak-anak, aku hanya bisa menggeleng pelan. Sejak kepulanganku dari rumah Adhisti, aku tak ingin melakukan apa-apa untuk saat ini.

Jika biasanya aku bisa acuh dan berpura-pura di depan Adhisti. Kali ini entah mengapa lakon yang ku lakoni dengan begitu mudahnya, sekarang bahkan terasa sulit dan berat untuk ku pikul sendiri.

Kalau biasanya ada Ibu yang bisa di ajak bertukar pendapat. Kini semua terasa hampa dan begitu menyesakkan untukku.

Dering ponsel membuatku tersenyum tipis saat menemukan nama seseorang.

"Assalamu'alaikum." salamku.

Tak lama sebuah tawa terdengar nyaring di seberang sana. "Wa'alaikummussalam Mass." jawabnya masih di sertai tawa.

"Chintya gimana kabarnya hari ini?" tanyaku dengan senyuman lebar sambil membayangkan apa yang tengah gadis remaja itu lakukan.

"Pasti main hape terus yah?" tebakku. Lagi-lagi suara nyaring terdengar di seberang sana.

"Nu, kamu jadi pulang ke Solo?" tanya Mbak Mytha, istri Mas Lutfi kakak sulungku. Terdengar helaan nafas dari seberang sana. "Maafin Mbak yah, ngerepotin kamu terus. Kamu jadi bolak balok Malang-Solo."

Mendengar hal itu membuatku menggeleng pelan. "Justru Ranu yang harusnya minta maaf, karena ke egoisan Ranu yang balik ke malang enam bulan lalu, Mbak sama Mas jadi harus kerepotan buat kemonya."

"Gimana Dhisti?" tanya Mbak Mytha.

Aku terdiam cukup lama. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa perempuan yang sudah ku perkenalkan kepada keluargaku itu, kini akan menjadi menantu orang lain.