03

348 66 47
                                    

"Ada satu kata yang ingin ku tanyakan sejak kembali bertemu, kenapa?"
.
.
.
.

Pengambilan photo-ku telah usai setelah melakukan pengambilan gambar beberapa kali. Mbak Mey sempat menanyakan keadaanku karena beberapa kali melihat tubuhku goyah.

Adhisti, please jangan mempermalukan diri lebih dari ini. Ingat Saka.

"Saka ganti baju lama banget." keluh Mbak Mey yang beberapa kali melihat pintu masuk menuju ruang staff. Di sampingnya Ranu nampak acuh.

Aku pun berinisiatif memanggil, namun Mbak Mey mencegah.

"Biar Mbak aja, kamu mending istirahat. Tenaganya di simpen buat nanti."

Mbak Mey pun pergi meninggalkan aku dengan Ranu yang kini tengah melihat laptopnya bersama Mas Didit.

Merasa di acuhkan dan bosan, aku memilih melihat sekitar area gengster town. Sebenarnya aku sudah pernah kesini dulu. Hanya saja waktu itu keadaan museum belum sebagus sekarang. Maklum, dulu aku datang ke sini pas banget waktu opening museum jadi semuanya belum sesempurna sekarang.

Beberapa kali ku gunakan ponselku untuk mengambil gambar yang menurutku bagus.

"Kamu kalau di kasih tau itu nggak pernah di dengerin yah?" tergur seseorang yang berhasil membuatku terkejut.

Berbalik, aku menemukan Ranu yang kini sudah berdiri di belakangku. Sambil membawa kameranya.

"Kamu sehat Nu?" tanyaku dengan gelengan tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Rasaku baru sepuluh menit yang lalu dia mencercaku karena hasil fotonya nggak sesuai sama yang dia pengenin.

Dan apa ini? Ranu tiba-tiba datang dan bilang kalau pengambilan fotoku nggak tepat.

"Cukup sehat untuk ngeliat kamu di bodohi." sarkasnya yang kini memilih berjalan mendahuluiku.

Keningku mengerut mendengar kata terakhir yang Ranu ucapkan. "Maksud kamu apa?" tuntutku yang kini mencoba mensejajarkan langkahku dengan langkah Ranu yang terkesan ingin meninggalkanku.

"Kamu itu polos atau apasih! Masih aja nggak sadar keadaan Dhis." tiba-tiba nada bicara Ranu meninggi, membuatku berjingkik kaget.

Lama aku terdiam meresapi ucapan Ranu. Tatapanku perlahan tertuju padanya yang sedang mencoba menghindari tatapanku.

Aku menggeleng tak percaya. "Jangan ngebuat aku berfikiran yang nggak-nggak, kalau kamu masih punya dendam sama aku. Lebih baik lampiasin sama aku, jangan membawa  Saka dalam keadaan kita yang nggak lagi sama seperti kata kamu." aku yang sudah lelah memilih berbalik pergi meninggalkan Ranu yang masih berdiam diri di tempatnya.

Dari kejauhan, ku lihat Saka sudah siap dengan kemeja peach serta celana creamnya. Bibirku mengulas senyum kala dia membungkukan badan ala-ala pangeran menyambut sang putri.

Segala sesuatu yang beberapa menit lalau ku dengar. Berusaha aku buang jauh-jauh. "Dari mana Yang?" tanyanya begitu aku sudah berada di sampingnya.

"Abis jalan-jalan bentar, udah banyak yang berubah. Padahal aku nggak kesini ada satu tahunan lho!" Saka terkekeh mendengar penuturanku. Di cubitnya ujung hidungku.

"Namanya juga tempat wisata Yang, kalau masih sama-sama aja seperti dulu alamat gulung tikar." aku mengangguk setuju dengan ucapan Saka.

"Nggak, akunya cuman nggak nyangka perubahannya pesat banget."

Saka tersenyum lebar. Merengkuh pinggangku untuk lebih dekat dengannya. "Jadi nggak sabar buat cepet-cepet halalin kamu." bisiknya di telingaku. Membuat aku sedikit risih sebenarnya karena belum terbiasa memamerkan hal intim seperti ini di depan umum.

Titik Temu [ PROSES TERBIT ]Where stories live. Discover now