BAGIAN 6/1

125 24 13
                                    

Stif menatap pantulan dirinya di cermin besar di hadapannya. Ia mencengkram tisu di tangannya sebagai alat menyalurkan seluruh emosinya hari ini. Beberapa menit lagi pemotretan akan dilanjutkan. Sejak pagi pikirannya yang kacau tidak kunjung mereda karena wajah Yuna terus berputar di dalam kepalanya. Dia sama sekali tidak bisa memikirkan hal yang disebut jalan keluar untuk memecahkan masalah-masalah yang nanti akan semakin mengikat kehidupannya. Huft. Stif bahkan tidak bisa menyembunyikan ekspresi tegangnya di depan kamera dan seluruh staff lainnya. Ia ingin membatalkan semua jadwalnya dan pergi untuk berpikir sejenak. Lebih baik ia tadi menemani Atha menemui Psikiater langganannya daripada ia harus menahan kecemasannya seorang diri tanpa ada suara berisik yang biasa mengganggunya.

"Stif, apa kau perlu sesuatu?" Jiyong masuk ke dalam ruang rias dengan satu cup ice float untuk Stif.

Stif melirik Jiyong dari cermin. Tatapan datarnya jadi lebih dingin, semakin dingin, dan semakin sulit terbaca.

"Apa saja sih yang Hyung lakukan sampai tidak bisa dihubungi? Apakah Hyung pikir ponsel itu hanya dekorasi saja?" Stif melontarkan protes dengan nada sangat marah sampai staff rias di ruangan itu menoleh karena terkejut mendengar Stif.

"Ah, maaf. Baterai ponselku habis." Jiyong yang sedang memegang buku catatan menjawab.

"Aku kan tanggung jawab Hyung. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padaku saat kau tidak ada dan kau tidak bisa dihubungi?"

Stif melampiaskan amarahnya begitu saja pada Jiyong, tidak perduli seberapa banyak mata sedang menatapnya. Dia sudah tidak perduli mendengar bisikan-bisikan orang di sekelilingnya. Lagipula amarah yang tadi tidak ada apa-apanya dibanding amarah sungguhan yang sebenarnya sedang terjebak di dalam dadanya. Tapi mau tidak mau, dia tetap harus melanjutkan pekerjaannya secara profesional. Jangan lupakan status nya sebagai rookie di dunia Entertaiment. Ayahnya yang keras kepala dan egois itu pasti akan melukai Yuna lagi jika ia sampai melakukan kesalahan. Entah mau sampai kapan orang tua itu membawa kematian anak tersayangnya untuk menjadi alat agar Stif terus mengikuti keinginannya. Kalau kebencian Stif pada Ayahnya di ukur, mungkin itu akan menjadi satu-satunya kebencian anak kepada seorang Ayah yang tidak akan bisa dijabarkan dan tidak dapat di ukur.

Entah sudah berapa kali juga, Stif menyusun rencana untuk melepaskan ikatan dirinya dari si Ayah. Mulai dari kabur dari rumah, terbang ke Negri Ginseng tanpa seizin Ayahnya. Tetapi semuanya gagal. Pria berusia 56 tahun dengan nama asli Som Lor Matraungkul itu memiliki banyak koneksi untuk mendapatkan Stif kembali ke genggamannya. Dan hal-hal seperti inilah yang membuat Stif semakin membenci Ayahnya. Sejak kematian Ibunya, kebahagiaan yang awalnya dapat dinikmati Stif, akhirnya direnggut sampai tak tersisa.

--

Stif duduk di depan meja bar sambil menuang sebotol alkohol ke gelasnya entah untuk yang keberapa kali. Sekali kedip, cairan krystal itu mendarat mulus di pipi Stif. Hatinya mendadak terasa sakit. Sakit sekali. Dadanya menjadi penuh, sulit dijabarkan. Kosong, hampa, namun penuh hingga rasanya ingin meledak.

Dulu, ketika Ibunya masih hidup, hidupnya sangat baik-baik saja meski Ayahnya hanya mengutamakan si anak 'kesayangan'. Karena Stif hanya seorang anak perempuan yang tak diharapkan si Ayah, hanya karena Stif tidak pernah bisa memenuhi ekspektasi Ayahnya seperti si anak kesayangan yang diidam-idamkan. Tapi bagaimanapun Stif tetap saja mencintai Ayahnya dan terus berharap bahwa suatu hari nanti si Ayah akan mencintainya sebagaimana Stif mencintainya. Lalu, si anak penuh harapan dan penuh kasih sayang itu meninggal dan Ayahnya menyalahkan Stif sebagai alasan terbesar, mengapa ia bisa kehilangan si anak kesayangannya.

Jika diingat-ingat, lelucon sialan itu masih membuatku tertawa.

Tidak perduli semakin panas tenggorokannya karena alcohol, Stif terus menerus meneguknya.

What Kind Of Person [UP POOMPAT] ✅Where stories live. Discover now