[23] Pieces of the past (A)

423 50 13
                                    


TENTANG sebuah kebetulan yang kuyakini bukan hanya jalan hidup yang bisa terjadi begitu saja, tapi tentang cara-Nya mengatur ketidakmungkinan menjadi kemungkinan lewat alur yang tidak bisa ditebak.

Sama halnya pada pertemuanku dengan Hoca Aydan yang tidak menyangka akan bisa sedekat ini. Di awal pertemuan, kami bahkan bersikeras enggan untuk saling mengenal, tapi kini cara Dia mengubah sudut pandang, membuatku menjatuhkan keinginan untuk membantunya.

Kakiku berjalan pelan menuju minimarket yang tidak jauh dari tempat penginapan, bukan bermaksud melanggar perintah Layla untuk aku tidak berisitirahat saat rasa sakit menerjangku hari ini, tapi ini karena air minum persediaan kami habis dan aku tidak bisa meminum obat tanpa itu. Untung saja batas kemampuanku untuk keluar di cuaca dingin masih cukup meski aku harus berjalan lebih pelan dari biasanya.

Suasana yang tidak cukup ramai mempermudahku membeli air minum, tapi sayangnya tidak menyurutkan rasa pusing yang tiba-tiba datang.

Huf, kenapa datang sekarang?

Aku harus segera kembali sebelum rasa pusing ini mendominasi.

Tapi tiba-tiba dengan cara-Nya... terjadi begitu saja seperti sebuah kebetulan, waktu mempertemukanku kembali dengan seseorang.

“İyi misin?” pertanyaan itu hadir saat tubuhku hampir limbung jika tidak ditahan oleh seseorang, wajah yang tidak muda itu terlihat mengernyit menandakan kekhawatirannya.

Beliau adalah Kakek Haidar.

Aku menggeleng pelan, kembali menegakkan punggung. Mengatakan baik-baik saja.

Beliau membantuku membawakan botol air mineral yang kubeli. Sorot mata itu tiba-tiba kembali menunjukkan kehangatannya seperti pertemuan di awal kami dulu.

“Teşekkürler.” Aku berulang kali mengucapkan kata itu. Selain beliau sudah membantuku membawakan botol minum dan sudah menahan tubuhku tadi, ada sisi lain yang kutuju sebenarnya yang mewakili ucapanku barusan.

Di balik sikapnya yang tiba-tiba berubah itu, ternyata beliau masih mengenaliku bahkan menolongku.

“Hasta olmalısın?” (Kamu sakit?) suara serak itu menahan langkahku.

Kuberanikan diri memandang beliau setelah pertanyaan apakah aku sakit muncul begitu saja. Pertanyaan sederhana memang, namun entah mengapa sudut bibirku menarik saat mendengar hal itu. Layaknya orang tua yang mengkhawatirkan anaknya.

“Araştırma sırasında yoruldum, iyiyim.”

Beliau ber-oh pelan setelah mendengar penjelasanku bahwa aku baik-baik saja. Lalu kecanggungan kembali menghampiri kami.

Salju turun perlahan memenuhi jalan dan mata kami memerhatikan gumpalan putih itu yang terlihat menawan.

Tanganku meremas kantung plastik yang berisi air minum. Haruskah aku pamit lebih dulu?

“Verdiğin dolma için teşekkürler.” (Terima kasih untuk Dolmanya). Mataku spontan melirik setelah beliau mengatakan hal itu, wajah itu masih fokus pada jalanan yang hampir ditutupi saljutanpa memandang ke arahku. Tapi kutahu bahwa beliau sungguh-sungguh menanyakannya. 

Aku menjelaskan bahwa Dolma yang kuberi itu adalah titipan dari Ibu Aysel. Kendati demikian senyum tipisku terpatri. Apalagi saat sebuah pertanyaan lain yang membuatku dirundung dilema.

“Yine evimize gel, hasta vücudun için geleneksel ilaç yapacağım.” (Datanglah ke rumah kami, saya akan siapkan obat untukmu yang sakit).

Aku tertegun sesaat. Bisa saja aku menolaknya atau seharusnya mengurungkan keinginanku dan kembali pergi ke rumah lalu beristirahat sesuai permintaan Layla, tapi entah mengapa rasa penasaranku timbul dan memenuhi pikiran untuk mencaritahu sisi lain Kakek Haidar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anılar [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang