[1] It Happens Again

538 96 1
                                    


IZMIR tidak pernah berubah meski kini hangatnya sudah berganti dengan rasa dingin. Minus tiga derajat cukup menusuk ruas-ruas sampai tulang belakang.

Benda seputih kapas mulai berjatuhan memenuhi jalan. Turun dengan lebat dan sedikit memudarkan pandangan. Tapi sedikit disentuh ia mudah mencari begitu saja.

Aku sudah hapal dengan suasana musim dingin di Kota ketiga terbesar di Turki setelah Istanbul dan Ankara, namun tetap saja aku masih belum terbiasa dengan hawa dinginnya.

Beberapa orang sibuk merapatkan jaket dan pakaian mereka, bahkan kendaraan pun jarang ikut merapat di tengah jalan. Mereka memilih menghindari salju yang turun cukup lebat dan  menghangatkan diri dengan segelas minuman hangat.

Harusnya hal itu juga berlaku denganku, tapi nyatanya kakiku malah menuju ke luar ruangan salah satu Cafe, menunggu seseorang sembari merasakan suasana musim dingin.

Cukup sentimental atau karena ini adalah tahun terakhiku sebagai mahasiswa di Turki.

Entahlah. Tapi aku menikmati butir-butir salju yang berterbangan.

Bohong rasanya kalau aku tidak merindukan suasana rumah di Indonesia, saat awal menetap di Turki, rasa ingin pulang sering kali mendatangi. Tapi, menjelang kehadiranku di sini yang beberapa bulan lagi akan menyelesaikan studi, kukira atmostfer di Negara empat musim ini adalah bagian yang akan kurindukan.

Hawa dingin tidak cukup membuat pikiranku membeku, justru sekelumit kejadian datang silih berganti. Dua minggu lalu saat masa izinku pulang ke Indonesia selesai, banyak hal cukup terlewati begitu saja. Apalagi tepat tiga hari sebelum keberangkatanku kembali ke sini, aku bertemu dengan seseorang yang cukup menyebalkan di rumah.

Napas gusar serta sedikit embun keluar begitu saja dari mulutku saat memikirkan pertemuan kami malam itu. Bagaimana tidak, kukira ia datang untuk menuntaskan rasa penasaranku, nyatanya ia datang hanya untuk meminta pertolonganku.

Masih teringat jelas tentang permintaannya malam itu.

“Orang hilang?”

Laki-laki dengan jaket cokelat muda itu mengangguk. Kami duduk bersebrangan dengan meja di tengah yang menyajikan dua gelas teh hangat. Ibu Rahayu yang menyiapkan sebelumnya.

“Siapa memang yang kamu maksud?”

Ia nampak berpikir sejenak, “saya juga belum tahu pasti, tapi kamu tahu cara mencari orang hilang di Turki?”

Ragu aku menjawab. Masalahnya, aku bahkan tidak pernah berpikiran untuk mencari orang hilang di Turki, aku tidak pernah berurusan juga dengan pihak keamanan atau hal yang berhubungan dengan itu.

Selain, ya, pernah terjadi insiden kecil aku lupa jalan saat ponselku mati dan itu di tahun-tahun awal sebagai mahasiswa. Untung saja petugas keamanan membantuku untuk menghubungi Layla dan Azzam. Sisanya, aku aman. Tapi kenapa ia tiba-tiba ia malah menanyakan hal itu?

“Tolonglah,” ia mengiba. Senyum kecilnya tersungging.

Aku menatap arah lain, kenapa tiba-tiba dia bersikap seperti ini? Apakah ia agen pertolongan orang hilang? Dulu, ia mencari dan memintaku pulang ke Indonesia, lalu ini?

Rasa terkesanku dulu saat ia mencariku lewat teman-teman sedikit memudar. Kenapa pula aku berpikir dan merasa istimewa karena ia cari dan temui sampai ke Turki. Nyatanya, ia juga bersikap demikian untuk orang lain.

Apakah dulu ia seperti ini juga saat mencari keberadaanku di Turki?

C'mon Dys, thinking clearly!

“Temanku membutuhkannya, ia... sedang mencari keluarganya yang hilang.”

Tubuhku sedikit menegang mendengar alasannya tadi.

Anılar [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang