[21] Uncertain Feelings

148 38 5
                                    

PERASAAN tidak tenang masih kerap menghantui. Ini karena pesan Ghufta minggu lalu yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya. Laki-laki itu seolah menghilang atas pernyataannya, bahkan ia tidak repot-repot memberitahu alasan mengapa pencarian Ayah Ziya selesai begitu saja.

Mungkin awalnya aku berat untuk membantunya tapi kini beban itu sudah aku terima namun semua jadi menggantung begitu saja setelah membaca isi pesannya saat itu.

Ada apa dengan Ghufta sebenarnya?

“Dys!” tubuhku tersentak kaget kala Layla datang mengangetkanku. Kami duduk bersisiran di ranjang tidurku.

Matanya menatap penuh intimidasi ke arahku dan ponsel yang kini kugenggam, “lagi mikirin apa, sih? Itu ponsel kamu liatin terus, ada apa?”

Aku mengeleng pelan, menyimpan benda persegi itu ke atas nakas. Huf, lagi-lagi Layla berhasil memergokiku yang terlihat kebingungan tiba-tiba dan menimbulkan kecurigaan.

Sampai saat ini, Layla atau pun Azzam belum tahu perkembangan lebih lanjut tentang masalah Ghufta atau Hoca Aydan, termasuk berita Ghufta yang baru ia kabari.

Apa ini saatnya aku menceritakan tentang mereka?

Tanganku saling meremas di balik mantel tebal yang kugunakan, malam ini salju masih saja terus turun dengan hawa dingin yang menerpameski di setiap kamar, kami memilki penghangat ruangan. Sepertinya musim dingin akan berakhir setelah penelitian kami juga berakhir di Konya.

Aku mempersiapkan diri—menimbang apakah sekarang saat yang tepat menceritakan masalah dua orang yang meminta bantuanku, apalagi kini setumpuk kebingungan menghampiri.

“Ay—”

“Dys.”

Kami berdua saling mengerjapkan mata karena memanggil nama masing-masing secara berbarengan.

Aku tertawa pelan melihat tingkah konyol kami yang tiba-tiba saling memanggil. Layla mengizinkanku lebih dulu bercerita, aku menolaknya. Apalagi, bisa kulihat kegugupan di wajahnya itu.

Layla pasti ingin menceritakan sesuatu!

“Be-besok kita senggang 'kan?” aku mengangguk pelan. Ia terlihat ragu sekaligus sulit untuk mengungkapkan pembicaraan selanjutnya.

“Kamu engga ingat sesuatu gitu?” alisku bertaut, memandang Layla yang kini terlihat gemas karena sikapku yang seolah melupakan satu hal penting.

Ada apa memang? Apa yang kulupakan?

“Aku mungkin lupa, Ay. Tapi, memang kita ada janji?” ia lalu menggeleng tegas, mimik di wajahnya berubah.

“Engga, lupakan.” Layla lalu berdiri, matanya terlihat ragu namun kakinya malah melangkah pergi menuju pintu kamar. Aku memanggilnya pelan, meminta penjelasan.

Kini tanganku sibuk membuka ponsel, melihat isi kalender yang biasanya kutulis note berisi tujuan dan kegiatan apa saja di sana. Ternyata benar! Satu tanggal kutandai sebagai hari libur dan janji temu dengan Azzam!

Aku menghela napas, bibirku mengulum senyum saat memikirkan sikap Layla tadi. Kenapa ia tidak langsung saja menanyakan apakah Azzam jadi datang ke Konya sesuai janjinya minggu lalu?

Kenapa Layla mesti mengajak tebak-tebakkan dan membuatku merasa bersalah karena tidak mengingatnya.

Huf, gadis itu!

Buru-buru aku pergi ke kamarnya, mengetuk dengan keras di balik pintu dan mengatakan, “aku ingat! tenang, besok Azzam akan tetap datang ke sini. Kamu jangan lupa bersiap, Ay!” iringan tawa kulampirkan setelah berucap demikian. Kuyakin di dalam sana wajah Layla sudah memerah.

Anılar [On Going] Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin