22 - Pergi Tanpa Pamit

21 16 21
                                    

Annyeong, aku kembali.
Jangan lupa vote dan komennya, ya.

***
“Please, jangan tersenyum begitu. Aku takut jantungku mendadak berhenti bekerja.” —Jan Pramana Hartanto
***

Saat malam hari, semuanya terasa makin menyesakkan bagi Kinan. Ia meringkuk di sudut kamar, sembari memeluk foto berbingkai kayu. Itu adalah foto kedua orang tuanya yang saat ini sudah tiada. Ia mengabaikan angin malam yang berembus lewat jendela kamarnya yang belum tertutup. Kinan terlalu sibuk menangis hingga matanya menjadi sembab, lingkaran hitam terlihat jelas di sana.

“Kin, ayo makan dulu.” Kenan mengetuk pintu dari luar. Namun tak ada tanggapan dari adiknya. Hal itu lagi-lagi membuatnya putus asa. “Apa kamu yakin mau mati juga? Kamu yakin mau ninggalin Kak Ken dalam keadaan jomlo begini? Kalau kamu mau mati, seenggaknya nunggu Kakak nikah.”

Masih hening, orang yang ada di dalam kamar masih tak mau menyahut karena sibuk dengan dunianya sendiri. Sebegitu terpukulnya Kinan karena kehilangan orang tuanya. Bahkan, ia tak bisa melihat detik-detik terakhir kepergian ayah dan ibunya.

Kinan rindu, tetapi sebuah temu adalah hal yang mustahil, sebab dunia mereka telah berbeda. Hal yang paling ia sesalkan adalah, ia belum sempat mengucapkan perpisahan dengan benar. Ia belum sempat menciumi orang tuanya.

“Kak, apa Ibu dan Ayah bahagia sekarang? Mereka kedinginan? Aku mau ke sana. Aku mau nemenin mereka.” Tangis Kinan menjadi. “Kak, kenapa Ibu sama Ayah nggak pamit dulu sama aku? Kenapa? Kenapa aku harus tidur nyenyak di rumah sakit pas mereka dikuburin?”

Kali ini, giliran Kenan yang bungkam. Ia menyandarkan punggungnya ke pintu, lalu merosot begitu saja ke lantai. Tak ada kata yang dapat ia ucapkan sebagai jawaban. Yang ada hanyalah luka yang makin menganga di hatinya.

Saat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, bel berbunyi. Kenan melihat di CCTV, memantau siapa yang datang. Ternyata seorang Jan yang sedang berdiri di depan gerbang.

Dengan gegas, Kenan menuruni tangga yang terbuat dari kayu, berlari menuju halaman rumah. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai di gerbang, tanpa pikir panjang, ia membuka pintu kayu yang menjulang tinggi itu.

Jan langsung tersenyum saat mendapat sambutan dari Kenan.

“Apa dia masih belum makan, Kak?”

Pertanyaan Jan hanya dijawab dengan gelengan. Jan pun tampak berpikir, ia melirik Rolex yang melingkar di tangannya, kemudian meraih ponsel di saku kemeja putihnya. Ia mencoba menghubungi Dendra, berharap agar kekasih Kinan itu datang untuk meramaikan suasana. Namun sayang, panggilannya tak kunjung diterima.

“Dia ke mana, ya?”

Sebelum ini, Jan tak pernah dekat dengan Dendra. Akan tetapi, sejak hari itu, sejak Kinan masuk ke rumah sakit, mereka saling bertukar nomor untuk berbagi kabar. Tanpa sadar juga, akhir-akhir ini ia malah sering sekali menghubungi musuh bebuyutannya itu.

“Nggak biasanya dia begini.” Jan bergumam lagi.

“Siapa?” Gumaman Jan memantik rasa penasaran Kenan. “Pacar?”

“Heleh, cuma adek Kak Kenan aja yang bakalan jadi pacarku.” Jan memutar bola mata, kemudian kembali menelepon Dendra. Akan tetapi masih sama, tak ada jawaban. “Ini, lho, Kak. Si Dendra nggak bisa dihubungi.”

Call Me Nuna |Park Jihoon| Tamat√Where stories live. Discover now