8 - Keluarga

75 29 39
                                    

Annyeong, kekasih Kyungsoo di sini.
Buat kalian yang setia baca cerita ini, makasih banyak, ya. Kalian penyemangatku.

"Sejak awal, aku tidak mengerti apa itu keluarga

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Sejak awal, aku tidak mengerti apa itu keluarga. Bagiku, kata 'keluarga' tak lebih sebagai formalitas untuk selembar kertas bertuliskan nama-nama orang yang katanya saling terikat hubungan darah."
- Jan Pramana Hartanto

***

Jan ingin memutar waktu ke masa ia belum dilahirkan, lalu meminta pada Tuhan agar ia terlahir dari orang tua yang benar-benar bisa menjadi rumah, bisa menjadi keluarga yang sesungguhnya. Atau, jika tak bisa mendapat orang tua seperti itu, Jan meminta agar ia tak dilahirkan dan tak merasakan kehidupan di dunia sama sekali.

Tubuhnya limbung, ia berjalan gontai saat keluar dari rumah mewah bergaya Korea itu. Tak ada yang bisa Jan harapkan, juga tak ada yang bisa ia pikirkan kecuali kematian. Hidup dengan pura-pura baik-baik saja itu menyusahkan dan melelahkan. Selama ini, Jan mampu melakukan kepura-puraan itu. Namun, hari ini sedihnya berada di titik tertinggi, sakitnya berada di puncak. Dan ia ... ingin menyerah.

Jan terus menyusuri jalanan kota, ia tak butuh taksi, hanya mengikuti arah kaki membawanya. Jan benar-benar terlihat seperti mayat hidup, berjalan tanpa tenaga, juga tanpa memedulikan setiap orang di sekelilingnya. Bahkan, meski ia menabrak tubuh orang lain, Jan tak meminta maaf dan meneruskan langkah begitu saja.

Sampai di jembatan, Jan berhenti. Ia menatap aliran sungai yang deras di bawah sana dengan sorot mata kosong. Indah kerlap-kerlip lampu di malam hari, kilauan air yang tertimpa cahaya bulan, juga bayang-bayang pepohonan tak terlihat lagi di mata Jan. Yang ia lihat hanya kesedihan, kesepian, juga akhir dari kehidupan.

Jan menarik napas dalam, lalu mendongak. Perlahan, ia memegang pembatas jembatan yang terbuat dari besi bercat merah. Dengan mantap, ia naik ke pembatas jembatan. Jan kembali mendongak, merasakan embusan angin menyapa wajahnya yang terlihat begitu pucat dan berantakan.

Orang lain tidak tahu, tidak mengerti, dan juga tidak akan memahami! Sesuatu yang mereka sebut kecil, yang mereka remehkan, yang mereka anggap tak penting. Juga, sesuatu yang mereka bilang 'lebay', tentu ada orang yang menganggap semua itu dengan cara berbeda, termasuk seorang Jan.

Hidup sebagai putra dari pasangan pebisnis dan dokter harusnya menjadi impian bagi beberapa orang, tetapi bagi Jan, itu adalah petaka. Karena, ia tak pernah mendapat kasih sayang, tak ada yang namanya keluarga harmonis, yang ada hanya pencitraan.

Jan sudah muak dan berharap semua kesedihannya berakhir, sekarang juga. Malam itu, di sela desau angin, ia menangis tanpa suara, merentangkan tangan, dan bersiap. Jan mulai mencondongkan tubuhnya ke arah sungai, tetapi tiba-tiba ....

Kaki Jan tak bisa digerakkan karena ada yang menariknya kuat-kuat. Sontak ia menatap ke bawah, ke arah yang berlawan dengan sungai, tampak seorang laki-laki yang terengah-engah demi menahan agar Jan tak melakukan hal gila.

"Lu sinting?" Dendra terlihat sangat marah.

Tangan Jan yang tadinya merentang, kini turun perlahan dan langsung disambut oleh Dendra. Ia menarik tangan itu sangat kuat hingga membuat Jan terjerembap di bahu jalan.

"Kalau lu maubmati, boleh aja, asal jangan sampe ketahuan gue." Gaya bicara seorang Dendra berubah setiap kali ia kesal. Lu-gue menjadi andalannya ketika ingin mengomel pada orang, termasuk pada Kinan.

Jan tak merespons ucapan Dendra. Ia hanya membalik posisi, lalu menumpukan lengannya di kepala, menutup matanya yang kian basah.

"Apa kamu sudah bilang sama Kinan kalau bakalan dijodohkan?" Jan mengubah topik. Ia tak mau membahas kematian yang gagal, karena itu cukup memalukan baginya.

Dendra mendengkus. Alih-alih menjawab, ia membuka dua kancing kemeja yang seolah-olah mencekik lehernya.

"Kamu harus kasih tau dia. Biar aku punya celah buat masuk."

"Halah. Lu ngomongin mau masuk sekarang? Harusnya gue biarin lu mati tadi, biar nggak ngoceh. Lagian, lu kenapa bisa kesemsem sama cewek gue? Eh, dia emang punya pesona yang beda, sih."

"Untuk disebut cowok, kamu cukup cerewet."

"Dan lu, cukup cengeng, cukup pengecut buat disebut cowok."

Jan terkekeh, Dendra pun begitu. Bersama bisingnya kendaraan dan dinginnya angin yang berembus pelan, mereka akhirnya menikmati malam sial di tepi jalan dekat jembatan-yang hampir membuat nyawa Jan melayang.

***

"Kinan, maaf, bulan ini Ibu tidak bisa kirim uang jajan buatmu, Nak. Ayahmu kembali kena tipu. Dia minjemin uang ke orang, terus orangnya kabur."

Kinan hanya tersenyum mendengar suara ibunya dari seberang sana. Bagaimana lagi? Ia tahu sifat ayahnya yang terlalu dermawan, hingga tak peduli apakah orang itu berniat buruk atau tidak.

"Kalau ada tempat tukar tambah, Ibu pengen tukar ayahmu itu."

Ucapan sang ibu sukses membuat Kinan tergelak. Dua perempuan itu pun langsung bergosip, yang satu menumpahkan kekesalan, satunya lagi berperan seperti kompor. Namun, setelah puas mengumpat, obrolan mereka tutup dengan tawa dan ucapan selamat malam.

Sementara di apartemennya, Jan duduk di lantai dengan punggung bersandar ke tembok.

Sejak awal, aku tidak mengerti apa itu keluarga. Bagiku, kata 'keluarga' tak lebih sebagai formalitas untuk selembar kertas bertuliskan nama-nama orang yang katanya saling terikat hubungan darah. Lalu, jika ini hanya menyangkut darah, apa harus aku mengeluarkan semua darah dari tubuh agar tidak perlu lagi ada beban?

Kehidupan memang begitu, terkadang terasa sangat lucu. Ada orang yang berasal dari keluarga kaya, tetapi tak pernah merasakan perhatian. Ada yang berasal dari keluarga kaya, tetapi harus siap bertanggung jawab dan hidup dalam tekanan. Ada yang berasal dari keluarga biasa saja, tetapi merasa cukup bahagia.

Tak ada hidup yang sempurna, tetapi orang-orang memandang kehidupan orang lain seperti sebuah kesempurnaan. Padahal, itu hanya apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka rasakan.

"Arrgggh!" Jan mengacak rambutnya frustrasi. Pikirannya buntu sekarang. Ia malas untuk melakukan apa saja. Sejurus kemudian, ia bangkit dan meraih ponsel di meja kecil yang terletak dekat ranjangnya.

Ia menyalakan layar ponsel, kemudian mencari nama Kinan di kontak. Awalnya, Jan ragu untuk menekan simbol telepon, tetapi akhirnya ia lakukan juga. Sembari menunggu panggilan tersambung, ia memasukkan tangan ke saku baju, membentur-benturkan ujung kakinya ke lantai untuk menghilangkan gugup.

"Halo."

Jantung Jan berdegup sangat kencang saat suara merdu dari seberang sana. Ia seolah-olah bisa lupa masalahnya yang tadi hanya karena sapaan itu. Entahlah, Jan juga tak mengerti kenapa ia bisa menjadi segila itu, karena untuk sebuah perasaan tak ada kejelasan dalam alasan.

"Nu-Nuna."

"Hmmm."

"Aku udah panggil kamu Nuna. Jadi, apa kita udah resmi pacaran?"

"Dalam mimpimu!"

***

Bersambung ....

Terima kasih buat yang baca, jangan lupa vote dan komennya, ya.

Salam sayang,
Kekasih Kyungsoo

#ExclusiveWritingChallenge
#ExclusiveLovRinz

Call Me Nuna |Park Jihoon| Tamat√Donde viven las historias. Descúbrelo ahora