10 - Genggam Tanganku

63 30 76
                                    

Annyeong, I'm comeback.

“Daripada melewati semuanya sendiri, kenapa tidak coba menggenggam tanganku? Kita lewati ini bersama

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Daripada melewati semuanya sendiri, kenapa tidak coba menggenggam tanganku? Kita lewati ini bersama. Bukankah jika kita membagi beban sama banyak, akan terasa lebih ringan?” – Jan Pramana Hartanto

***

“Apa semuanya baik-baik aja, Kin?” Dendra memegang kedua bahu Kinan, lalu menuntun perempuan itu agar menghadap ke arahnya. “Kamu sakit?” Kali ini punggung tangannya sudah menyentuh kening sang kekasih.

“Aku gak apa-apa, kayaknya kurang istirahat aja.”

“Terus, kenapa ambil kelas pagi?”

“Danendra, bisa nggak hari ini kamu tinggalin aku sendiri?” Tatapan mata Kinan begitu sayu. Ia benar-benar terlihat sangat kacau saat ini. Hal yang membuatnya begitu adalah perkataan kakaknya tadi pagi, juga kebohongan Dendra tadi malam.

“Kamu sudah makan? Apa perlu aku beliin makan? Vitamin?”

“Kamu nggak denger? Aku pengen sendiri.” Kinan bicara dengan penuh penekanan.

“Kamu selalu begitu, berubah sikap tanpa aku tau masalahnya.”

Masalahnya, hubungan kita terasa seperti kesalahan. Aku seperti kelelahan berpikir untuk kebaikan kita, Den. Aku lelah untuk maju, tapi aku juga nggak tau lagi jalan untuk kembali.

“Apa aku berbuat salah?” Dendra membuka mulut lagi saat tak mendapat tanggapan dari Kinan. Ia memegang bahu perempuan yang duduk di sampingnya itu dengan sangat kuat, seolah-olah hendak meremukkan tulangnya.

“Bisa tinggalin aku sendiri?” Kinan menunduk, mencoba mengendalikan segala kecamuk di hatinya. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini, tetapi ia tetap menahan agar Dendra tak khawatir.

“Kenapa kamu selalu begini? Apa aku nggak berhak tau apa masalahmu?” Dendra menyugar rambut kasar, lalu mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Kinan, aku ini sebenarnya apa di matamu?” Suaranya mulai melemah, ia terdengar putus asa.

“Nanti, nanti aku cerita.” Kinan meyakinkan sembari menggenggam tangan Dendra yang masih terkepal. “Tapi untuk sekarang, tinggalkan aku sendiri. Hmmm?”

Ada yang tak bisa dijelaskan, tetapi melalui tatapan mata, semua sudah tersampaikan. Saat ini, tak ada yang baik-baik saja. Baik Kinan maupun Dendra, keduanya sama-sama terluka dan merasa hampir menyerah.

“Apa kata nanti itu berarti sebelum aku atau kamu mati?”

“Aku lelah.”

Call Me Nuna |Park Jihoon| Tamat√Where stories live. Discover now