3 - Prangko

154 63 45
                                    

#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge

Annyeong, I'm comeback.
Udah baca part 1 dan 2 kemarin, kan? Ada yang nungguin Jan, Kinan, dan Dendra?
Kalau iya, langsung baca aja part di bawah ini, ya.

***

“Kalau dia menolak, datangi aku.” –Jan Pramana Hartanto

***

Mulai sekarang, Jan akan menempel seperti prangko pada perempuan yang ia ketahui namanya melalui profil WA. Kinanti Magani Ayunda, entah bagaimana Jan bisa tergila-gila hanya dengan pandangan pertama. Normalnya, manusia akan melakukan pendekatan terlebih dahulu, minimal sebulan atau dua bulan, tetapi Jan tak butuh itu. Itu artinya, ia tidak normal, bukan?

Laki-laki bertubuh sedang–tidak tinggi juga tidak pendek–itu memang suka berlaku aneh. Bahkan, ia rela mewarnai rambutnya dengan warna yang mencolok hanya dengan alasan ingin membuat mamanya marah. Ia juga sering pulang terlambat, demi mendapat omelan. Akan tetapi, hal-hal yang Jan inginkan tak pernah ia dapat. Marah, mengomel, itu adalah perhatian di mata Jan. Oleh karena itu, saat kemarin Kinan mengomel padanya, ia hanya tersenyum. Sudah ditekankan, Jan itu aneh.

Di kampus yang begitu luas, Jan mencari tahu letak Fakultas Psikologi. Tujuannya? Untuk apa lagi jika bukan untuk menemui Kinan. Selama pencarian, Jan berpikir keras, kenapa orang seperti Kinan bisa mengambil jurusan psikologi? Padahal, perempuan itu memang benar-benar terlihat seperti tidak peka terhadap lingkungan. Bukankah seorang psikolog harus peka untuk mengerti kasus di sekitarnya?

“Ah, masa bodoh. Yang penting aku bisa bertemu yayangku.” Jan tersenyum bak orang yang sedang kesurupan, kemudian mempercepat langkah.

Asli, Jan benar-benar sudah di luar normal. Ia melakukan apa saja yang ia mau tanpa peduli apa pun. Buktinya, ia rela mencari tempat Kinan berada. Padahal, Fakultas Psikologi dan Fakultas Industri Kreatif itu letaknya lumayan jauh. Ditambah lagi, Jan tahu benar perlakuan apa yang akan didapatnya nanti saat bertemu Kinan.

Bagi Jan, urusan ditolak itu masalah belakang, yang terpenting usaha dulu. Meski, ya, usaha Jan itu lebih terlihat seperti memaksa.

Belum juga sampai di Fakultas Psikologi, Jan melihat orang yang ia cari sedang berjalan, menaiki undakan yang terbuat dari batu bata. Tanpa diperintah siapa pun, Jan langsung berteriak, memanggil nama Kinan sembari melambai-lambai. Kelakuannya persis seperti anak-anak yang baru saja bertemu tukang balon.

“Hais, dia lagi,” gumam Kinan, kemudian menggigit bibir bawah. Ia benar-benar terganggu karena merasa selalu diawasi akhir-akhir ini. Sejurus kemudian, Kinan pura-pura tak mendengar dan langsung mempercepat langkah, lari dan terus berlari, melewati koridor fakultas yang ramai oleh beberapa mahasiswa.

Hingga saat akan memasuki kelasnya, Kinan tak sengaja menabrak tubuh seseorang. Ia bisa mengenali siapa yang baru saja ditabraknya melalui aroma tubuh, juga model sepatu yang orang itu kenakan, itu adalah Dendra. Sial! Ibaratnya, keluar kandang macan, malah masuk kandang singa.

Ini kenapa Dendra bisa ada di sini? Kenapa semua orang jadi mendadak ada di sekitar kelasku? Ah, bikin pusing. Kinan menggerutu dalam hati.

Kinan tak berani mengangkat wajahnya. Ia masih menatap ke lantai yang berwarna putih, berpura-pura mencari sesuatu. Padahal, tak ada satu pun barang yang ia jatuhkan. Kinan benar-benar berharap bahwa Dendra tak akan mempermasalahkan hal itu dan pergi begitu saja.

Sesuai harapan Kinan, Dendra pergi tanpa basa-basi. Harusnya, ia merasa lega, bukan? Akan tetapi, tidak. Ada lubang besar di hatinya yang membuat hidup Kinan terasa hampa. Ia merasa sedih karena orang yang menempati ruang terbesar di hatinya harus menjadi orang paling asing.

Call Me Nuna |Park Jihoon| Tamat√Where stories live. Discover now