"Lah? Mau kemana lu? Kantin sebelah sana ontet!" Beomgyu sedikit berteriak ketika melihat Jaemin berbelok ke arah kiri.

Jaemin tak menghiraukan ucapan Beomgyu, pemuda itu terus berjalan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku. Beomgyu yang melihat itu hanya nenghela nafas dan memutar bola mata jengah. Dari ketiga temannya, Jaemin orang yang paling semena-mena.

Beomgyu terus berjalan mengikuti Jaemin yang berjalan ke arah belakang kelas dua belas. Disana seperti tempat untuk bersantai karena ada beberapa tempat duduk bundar yang terbuat dari ban dan meja kayu yang sudah usang.

"Self healing lo apa gimana? Tertekan banget komuknya, bang," ledek Beomgyu melihat wajah Jaemin yang terlihat kusut.

Jaemin menghiraukan ledekan Beomgyu. Jaemin langsung duduk di kursi bundar yang terbuat dari ban itu dan menyisir rambutnya ke belakang. Beomgyu yang malas untuk berdiri pun duduk di kursi yang terbuat dari potongan kayu itu.

"Dih, gitu aja stress. Cemen lo ah, ngeliat Jeno belajar langsung kena mental lo—"

"Mau gua pukul lo?" ujar Jaemin sembari melemparkan tatapan tajamnya. Ia sedang tidak ingin diganggu.

Sontak Beomgyu langsung menutup mulutnya dengan raut wajah mengejek. "Siap, Pak Boss!"

Kemudian terjadi keheningan di antara keduanya. Jaemin hanya menatap meja usang itu dengan tangan yang menopang kepala. Ia merasa frustasi dengan tugas sekolah yang begitu banyak dan kemudian ia merasa frustasi melihat Jeno yang belajar dengan giat.

Beomgyu tampak tak peduli, ia lebih memilih memainkan game yang ada di ponselnya.

Secara tak sengaja matanya menangkap sebuah sileut laki-laki dan perempuan tengah berbincang dari jarak jauh. Jaemin-pun memicingkan matanya untuk melihat siapa perempuan itu. Hanya dari rambut dan lekuk tubuh gadis itu, ia merasa tidak asing.

Dan benar saja, itu adalah Sena.

Namun siapa laki-laki yang tengah berbincang serius dengan Sena? Jaemin kembali memicingkan matanya untuk memperjelas siapa laki-laki itu. Ternyata itu Renjun.

Apa yang mereka bicarakan? Renjun tampak serius berbicara dengan Sena. Jaemin tak dapat mendengar apa yang mereka perbincangkan karena jarak mereka yang cukup jauh.

Disisi lain, Renjun menarik paksa Sena. Menarik gadis itu menuju sudut yang berada di belakang kelas dua belas. Tempat itu selalu sepi, jarang ada orang yang berada di belakang kelas dua belas.

"Kenapa?" Itu pertanyaan yang keluar dari mulut Sena ketika keduanya sudah tiba di belakang kelas dua belas. Sena juga langsung menyentak tangan Renjun lemah ketika mereka tiba.

Renjun hanya diam. Pemuda berkacamata itu menatap Sena intens. Matanya memicing berusaha menajamkan penglihatannya dari balik kacamata untuk melihat luka-luka pada wajah Sena yang tertutupi oleh make-up.

"Apa? Mau ngomong apa?" tanya Sena sekali lagi. Wajahnya tak terlihat kesal, hanya wajah tanpa kehidupan tercetak di wajahnya.

Lagi-lagi Renjun hanya diam.

"Gak ada yang mau lo omongin? Gue balik." Sena kemudian berbalik dan berjalan selangkah meninggalkan Renjun, namun Renjun langsung menahan lengan Sena yang terluka, membuat gadis itu meringis dan langsung menepis kasar tangan Renjun dari lengannya. "Akkhh! Sakit!"

Sena memegangi lengannya dengan wajah meringis. "Lo beneran gapapa?" Itu adalah pertanyaan yang sedaritadi ingin Renjun tanyakan.

Sena tak menjawab. Gadis itu masih meringis memegangi lengannya yang memar. Sena mengenakan sweater berlengan panjang dan juga rok pendek, namun Sena men-double seragam itu dengan legging hitam untuk menutupi seluruh lukanya.

"Gue tau lo lagi gak baik-baik aja. Lo bisa kasi tau gue asalnya luka-luka lo darimana—"

"Lo kenapa tiba-tiba nanya gitu?" ujar Sena dingin, namun wajahnya masih meringis karena rasa sakit luar biasa yang ada pada lengannya.

Renjun menatap Sena dengan raut wajah serius. "Gue bilang gue tau lo lagi gak baik-baik aja! Jangan nyembunyiin masalah lagi! Lo beneran mau mati!? Susah banget lo mau cerita! Lo tinggal bilang—"

Sena memalingkan wajahnya. Berusaha menutupi matanya yang mulai berkaca-kaca. "Gak ada yang harus gue ceritain—"

"Kan, kebiasaan! Gue nanyak kenapa tuh jawab alasannya kenapa lo bisa gini! Bukan gak ada yang harus diceritain! Lo tuh kebiasaan dari dulu selalu out of the topic kalo ditanya! Mulut lo ke lem apa gimana sampe-sampe gak mau bilang tentang keadaan lo! Lo masih punya mulut tuh dipake Senaa! Bilang lo kenapa!" cerocos Renjun emosi. Nadanya terdengar frustasi berbicara dengan Sena. "Lo masih mau bilang gak ada yang perlu diceritain setelah liat muka lo bengkak gini? Lo masih mau bilang lo gapapa setelah luka-luka sama memar yang lo tutupin dibalik baju lo itu!?"

Renjun marah. Renjun benar-benar marah melihat keadaan Sena yang seperti ini. Pemuda itu tau semua luka yang ada pada tubuh Sena karena ia tak sengaja beberapa kali melihat Sena mengobati lukanya di kelas. Renjun juga melihat Sena menarik lengan bajunya dan luka-luka itu kemudian ter-ekspos.

"Lo tuh kenapa sih! Lo kalo ada masalah gak mau banget cerita! Lo liat gue orang ember apa gimana? Kapan sih Sen gue pernah bocorin rahasia lo—"

"Gue gak punya masalah, Renjun—"

"Basi lo! Lo lama-lama beneran sekarat dah! Gue sebagai ketua kelas harus bantu lo! Lo kondisinya kayak gini bikin khawatir satu kelas! Lo cerita tinggal cerita—"

"Gue gak punya masalah!" gertak Sena dan fokus membuat Renjun terdiam. Pemuda itu terlihat kaget karena gertakan Sena. "Lagian lo ngapain pake maksa gue cerita? Lo cuman ketua kelas! Tugas lo urusin kelas! Bukan urusin urusannya orang!"

Mata Sena memerah. Matanya terasa panas. Pandangannya buram menatap Renjun yang menatapnya begitu tulus. Tangannya menggenggam erat rompi seragamnya. Mulutnya ia ulum kedalam dan ia katup rapat-rapat. Ia tidak akan bercerita kepada siapapun.

Setelah mengatakan itu, Sena berbalik dan berniat meninggalkan Renjun. Namun sekali lagi, perkataan Renjun membuat Sena terdiam. Helaan nafas tulus Renjun terdengar.

"Kita gak bisa kayak dulu lagi ya, Sena?" ujar Renjun. Terdengar nada kecewa dan helaan nafas penuh harap.

Sena, gadis itu makin menggenggam kuat-kuat rompinya. Mulutnya mulai bergetar, namun sebutir cairan bening mulai lolos dari matanya. Suara Renjun yang begitu tulus membuatnya tak bisa menahan air matanya.

"Gue salah apa sih, Sen? Sampe-sampe lo jauhin gitu? Sampe sekarang gue terus mikir, salah gue dimana dah sampe-sampe lo gak mau temenan ama gue lagi. Gue gak nemu letak kesalahan gue dimana..." lirih Renjun pasrah.

Sena diam. Ia tak berbalik. Ia tak ingin menatap wajah Renjun. Rasanya sesak. Rasanya begitu sesak mendengar pertanyaan lirih Renjun.

"Gak bisa gitu kita temenan lagi? Salah gue fatal banget kali, ya. Sampe-sampe gak bisa diperbaikin?" tanya Renjun lirih. Ia benar-benar tidak tau salahnya dimana sampai-sampai Sena menjauhinya.

Sena masih terdiam dan membuat Renjun kembali menghela nafas.

"Apapun itu gue minta maaf. Gue minta maaf sama apa yang gue lakuin dulu ke elo. Gue bener-bener minta maaf..."

Sena, gadis itu sedaritadi meloloskan air matanya begitu banyak. Menahan isakan tangisnya yang terus keluar. Bibirnya bergetar hebat, berusaha untuk tidak berbicara, berusaha untuk tidak menceritakan masalah yang ia lalui.

"Na..." pangil Renjun. Panggilan yang selalu Renjun katakan dahulu. "Oke, gue gak bakalan maksa lagi lo mau cerita apa enggak. Gue gak bakalan maksa lagi kalo emangnya lo gak mau temenan ama gue lagi. Tapi, kalo lo bener-bener punya masalah, kalo lo bener-bener udah siap cerita, lo bisa datengin gue sebagai ketua kelas."

Setelah mengatakan itu, Renjun berjalan mendahului Sena. Wangi parfum pemuda itu tercium begitu jelas di indra penciumannya. Tangisannya langsung pecah ketika kehadiran Renjun tak terlihat lagi.

"Eh, ada yang lagi nangis nih. Sekalian berenang aja. Mau gak? HAHAHAH!"


































Ada yang tau masalah antara Renjun & Sena?

Dangerous Bully | Lee JenoМесто, где живут истории. Откройте их для себя