🌻023. Hukuman

14 6 0
                                    

"Mulai sekarang, larinya!" Tuti memerintahkan.

"Ibu, hukuman yang lain bisa, Bu?" tawar Ainaya. Terlalu malas baginya untuk berlari-lari di pagi hari ini.

"Bisa. Bersihin seluruh halaman sekolah. Mau?" jawab Tuti.

Lumayan, membersihkan halaman sekolah bukanlah sesuatu yang buruk, karena halaman sekolah mereka tidak terlalu kotor. Tentu itu berkat kedisiplinan murid SMA 1 JAKARTA.

"Saya setuju, Bu" tandas Ainaya dengan mantapnya. Kini dia sudah yakin dengan keputusan itu.

"Saat bel istirahat bunyi. Ibu cek, kalau halaman sekolah belum bersih saat itu juga. Maka, ibu akan beri hukuman lebih lanjut." Tuti memberikan ancaman.

Andai gadis itu lebih cepat sedikit saja, maka dia tidak akan pernah mengalami kesialan ini. Telat? Tidak ada di kamusnya sebenarnya.

Ainaya dan Brian menganggukan kepalanya pelan tidak ada lagi suara atau pembelaan mereka berdua. Kini mereka berdua bersama melangkahkan kakinya pelan dari ruangan itu, menuju tempat yang diperintah Tuti.

_____

"Lo ambil sapu lidinya , biar gue yang ambil pengki." perintah Ainaya pada Brian, yang dibalas dengan anggukan pelan oleh pria itu. Kemudian mereka mulai dengan tugasnya masing masing.

Tangan kanan Brian memegang sapu yang telah dia ambil dari ruangan pojok itu. Bukan sampah-sampah plastik yang ada di sini melainkan hanya sekedar daun-daun gugur yang jatuh asal ke bawah tanah. Ini semakin mempercepat kerja keduanya itu.

"WOY NYAPU-NYA NYANTAI DONG, BEGO! GUE KELILIPAN, NIH!" titah Ainaya meneriaki Brian.

Karena ulah Brian yang menyapu terlalu kencang, membuat debu beterbangan tertiup angin kencang itu lolos kedalam kelopak mata Ainaya yang berdiri di hadapan pria itu dengan pengki di tangannya.

"Sorry," gumam Brian tanpa melirik Ainaya. Masih  melanjutkan dirinya di dalam aksi menyapu.

"LO KAYAK NENEK KEBAYA TAHU, GAK! OMPONG, KERIPUT, JELEK DITAMBAH DI GIGI LO, ADA EMASNYA." celetuk Ainaya sembarang. Emas apa? Nggak waras memang otak gadis itu.

Brian meresponnya? Jelas tidak. Untuk apa dia harus membalas gadis itu. Percuma, karena nanti ujung ujungnya malah berantem. Dan berakhir debat.

Ainaya selesai dengan urusannya mencela Brian. Kini dia mengucak mata kirinya, karena dia merasa terganggu di sana. Mungkin, matanya sudah berubah warna jadi merah,  akibat terus dikucak. Tapi, sialannya, Brian tetap saja menyapu halaman itu dengan kencang membuat debu semakin beterbangan.

Kali ini Ainaya tidak bisa tinggal diam lagi. "WOY, YANG BENER DIKIT, GEK!" omel Ainaya, kini gadis itu melepaskan pengki yang dia pegang, mendekatkan dirinya lebih dekat ke Brian.

"Lepas sapunya kalau lo nggak mau mati, di tangan gue." titah Ainaya memegang sebatang sapu yang berada dalam cengkraman Brian.

"Diem," tanggap pria itu dingin dan tanpa melirik.

"Lo nggak bisa nyapu. Jadi biar gue aja."

"Lepas," Brian tidak mengalah.

"Kalau lo lanjut nyapunya, debunya makin banyak yang kena angin!" cetus Ainaya.

Brian memandangi wajah Ainaya melalui bola matanya menaik ke atas, terlihat wajah Ainaya disana, mata kiri gadis iru sedikit merah. Entah karena kena debu, atau karena dia menggosok-gosoknya.

Dengan satu tangannya, Brian meraih pinggang kecil gadis itu membawa Ainaya mendekat ke tubuh Brian.

Huhhh!

AinayaWhere stories live. Discover now