20

503 22 4
                                    

Rizki tampak gelisah ditempatnya berada saat ini, perasaannya berubah tak tenang. Pria itu mondar mandir ditempat, membuat sahabatnya keheranan.

“Rizki, kamu itu kenapa sih? Mondar mandir gak jelas dari tadi,” sungut Faris heran, tetapi tatapannya tetap fokus pada game di ponselnya.

“Perasaan aku gak tenang, dari tadi hatiku gelisah. Kepikiran sama Indri terus, udah beberapa hari ini ditelpon gak pernah diangkat, di chat gak dibales, bahkan saat aku tanya ke teman-temannya aja pada gak tau,” jawab Rizki dengan raut wajah khawatir.

“Kenapa gak datengin aja ke rumahnya?” ucap Faris setengah bercanda, netranya masih tetap fokus pada game yang dimainkannya.

Rizki tak menjawab, tetapi pria itu langsung mengambil kunci mobil yang berada diatas laci dekat kasur. Lantas segera pergi dengan terburu-buru, meninggalkan sahabatnya yang tampak masih asik bermain game di dalam kamarnya.

Dengan perasaan risau bercampur cemas, pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Berharap bisa segera sampai di rumah Indri. Ia seolah bisa merasakan bahwa sudah terjadi sesuatu yang buruk pada ibu dari calon anaknya itu.

__
__

Lima belas menit kemudian, ia pun sampai di rumah perempuan itu. Dengan terburu-buru Rizki berjalan menuju pintu depan.

Rizki menekan bel rumah berulang kali, mengetuk pintu dengan hingga tangannya terasa sakit, tetapi tak ada tanda-tanda orang yang akan membukakan pintu untuknya.

Dengan ragu, Rizki mencoba untuk membuka pintu rumah tersebut. Dan, berhasil! Ternyata sama sekali tidak dikunci. Ia tak mempedulikan adab bertamu ke rumah orang, biarlah dirinya dikata didak tahu aturan. Yang dirinya pikirkan saat ini hanya satu, Indri.

“Assalamualaikum, Indri … Indri….” Panggil Rizki berulang kali.

Rizki melihat kesekeliling ruangan, sepi, sunyi, seolah tak ada siapa-siapa disini. Rizki mencoba untuk masuk lebih dalam lagi, kakinya melangkah menaiki tangga. Menuju kamar Indri yang kebetulan ia ketahui saat hendak membantu perempuan itu menyimpan barang yang baru selesai digunakan kerja kelompok ke kamar.

Sampailah ia di depan kamar berpintu coklat, diketuknya pintu tersebut berulang kali. Sedangkan mulutnya tak henti-henti memanggil nama Indri.

“Indri … Indri … Indri … kamu ada di dalam kan? Ini aku, Rizki,” teriak Rizki di depan pintu.

Merasa tak mendapat tak mendapat respon, pria itu pun langsung meraih gagang pintu. Berusaha membukanya, tetapi gagal. Rupanya pintu terkunci dari dalam.

Dengan kalut, pria itu memutuskan untuk mendobrak pintu kamar tersebut. Pada percobaan pertama dan kedua memang gagal, tetapi pada percobaan ketiga dia pun berhasil membukanya.

Dilihatnya Indri yang tergolek di atas lantai. “Astagfirullah, Indri,” kaget Rizki seraya berlari ke arah wanita itu.

Rizki langsung mengangkat tubuh wanita itu, lantas membaringkannya di atas tempat tidur. Disentuhnya dahi Indri menggunakan punggung tangannya, hangat! Rupanya gadis itu sedang demam.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

Hingga tanpa sengaja matanya menatap ke arah perut Indri yang mulai terlihat besar. “Ini semua salahku.” Rizki menyalahkan dirinya sendiri. “Jika saja kamu tidak mengandung anakku, jika saja hari itu aku tidak memperkosamu, kamu pasti tidak akan menjadi seperti ini. Maafkan aku Indri, maaf.”

Rasa bersalalah tergambar jelas di wajahnya, penyesalan tidak pernah lepas dari hati dan pikirannya.

Indri mengerjapkan matanya, ia mulai tersadar dari pingsannya. Matanya langsung terbuka lebar, melihat sosok Rizki yang kini tengah berada tepat di sampingnya.

Pregnant: Between Responsibility And Dream(Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang