Part 15

7.2K 480 3
                                    

"Mei, jangan sedih dong. Masih banyak kok laki-laki baik di dunia ini. Dunia nggak selebar daun kelor, Mei." Arin berusaha menghibur sembari menyentuh tanganku.

"Gue nggak sedih, Rin. Tapi manusiawi kan kalau sebagai manusia gue kecewa sama kelakuan suami seperti mas Arya?"

Arin mengangguk. Tatapannya menunjukkan rasa prihatin. Aku menggelengkan kepala, kumaksudkan agar Arin tak perlu mengasihaniku.

"Mei, emangnya kalian belum ada yang melakukan gugatan, ya?" Rosi bertanya tiba-tiba.

Aku menggeleng lemah. "Belum, Ros. Gue pikir waktu terakhir kali mas Arya datang sama ibunya ke rumah dan maki-maki gue, saat itu juga dia bakal ngajuin gugatan," jelasku.

Rosi menghela nafas sambil melipat kedua tangan di meja. "Pantesan dia masih merasa berhak buat memperlakukan lo kayak tadi, Mei. Untung gak dilihat orang. Kalau nggak, bakalan jadi omongan orang se-kantor lo berdua."

Aku mengangguk membenarkan pendapat Rosi. Mas Arya memang aneh dan suka berlaku seenaknya terhadapku.

"Lo yakin nggak mau rujuk sama Arya?" tanya Rosi lagi. Kali ini ada keseriusan dalam nada suaranya.

"Kalo lo jadi gue, apa lo bisa memaafkan dan menerima kembali?" Aku balik bertanya.

"Tapi kan Mei, mungkin aja status hubungan Arya sama Renita itu cuma sekadar iseng. Gak ada yang bisa membuktikan bukan, mereka pernah melakukan hal yang__you know, lah." Rosi tak meneruskan kalimatnya, tapi aku paham pada maksudnya.

Hmm ... sepertinya inilah saat yang tepat untuk menceritakan temuanku berupa pembungkus kondom bekas serta bill reservasi hotel atas nama mas Arya tempo hari. Kutatap kedua sahabatku lekat-lekat, lalu menarik nafas dalam sebelum mulai bercerita.

"Sebenarnya ada satu hal yang belom gue ceritain ke kalian." Aku memulai. Kedua orang yang sangat dekat denganku selain ibu dan Lany itu menatapku dengan sorot penuh tanya.

"Maksudnya, ada rahasia yang belom lo kasih tau ke kita?" tanya Rosi dengan mimik serius di wajahnya.

Aku mengangguk. "Bisa dibilang begitu," jawabku pelan.

"Apa, Mei?" Arin kian penasaran dan tak sabar. Akhirnya, aku pun mulai menceritakan tentang 'benda-benda' rahasia milik mas Arya yang kutemukan secara tak sengaja itu.

Mata Arin membulat tak percaya ketika aku mengungkap tentang penemuan tersebut. Khususnya bagian bungkus kondom bekas dalam saku celana kerja mas Arya.

"Gila, ih! Sumpah nggak nyangka banget gue si Arya brengsek gitu!" Arin bersuara keras, nyaris kehilangan kendali diri. Rosi dengan cepat mengingatkannya untuk mengecilkan volume suara karena saat ini kami sedang berada di tempat umum.

"Sorry ... sorry, gue lost control," ucap Arin pelan. Ia terlihat sungkan padaku atas ulahnya tadi.

"Teriak-teriak lagi, gue cabut pita suara lo, Rin!" ancam Rosi dalam guraunya.

"Dasar ibu tiri!" Arin bersungut membalas Rosi.

"Kembali ke yang tadi Mei. Gue rasa itu belum cukup kuat untuk dijadikan bukti perselingkuhan Arya. Terutama menetapkan Renita sebagai pasangan kencannya. Tanpa bukti yang jelas sedang elo sendiri juga kurang yakin, bisa-bisa kita dituduh jadi tukang fitnah."

"Iya, lo benar Ros. Karena itu gue masih bingung mesti gimana. Gue takut mas Arya sengaja ngegantung status gue. Dicerai kagak, dijadiin istri juga nggak dianggep." ungkapku mengenai kekhawatiran yang belakangan ini membelenggu pikiran.

"Tenang, jangan keburu stress gitu. Gue yakin lo pasti bisa nemuin cara buat lepas dari suami buaya darat kek Arya." Rosi mengusap-usap lenganku pelan dalam upayanya menenangkan kegalauanku.

"Eh, jam istirahat udah mau habis nih. Cabut, yuk!" ujar Arin setelah melirik jam di tangannya. Aku dan Rosi mengangguk setuju. Namun saat aku hendak membuka dompet untuk membayar tagihan makananku, Rosi buru-buru mencegah.

"Udah, simpen dulu. Entar kalo lo udah terima gaji, baru kita palakin." ujarnya saat aku bersikeras menyerahkan uangku padanya.

"Iya, Mei. Ntar gajian pertama traktir kita mamam enyak yak." ujar Arin pula. Aku hanya bisa menatap penuh terima kasih sekaligus malu pada mereka berdua yang begitu mensupportku.

Aku berjanji, suatu hari akan kubalas kebaikan mereka. Jika tidak bisa membalas dengan materi, maka akan kubalas lewat tenaga. Yang jelas, aku tak kan pernah melepaskan orang-orang baik seperti mereka dari hidupku.

***

Saat sedang menunggu lift untuk naik ke ruangan kerja masing-masing, aku, Arin dan Rosi masih terlibat dalam obrolan seru membahas hal-hal di luar pekerjaan dan masalah rumah tanggaku.

Di saat itu pula lah, seseorang yang tadi kami bicarakan saat makan di warteg melintas di depan kami. Renita.

Entah dia masih mengenaliku atau dia pura-pura lupa padaku, gadis itu cuek saja saat kami tak sengaja bertatapan muka. Ia bersikap seakan tak pernah melihatku sebelumnya. Malah ia justru menyapa Rosi dan Arin yang berdiri mengapitku, masing-masing di kanan dan kiri.

"Hai, Rin, Rosi." Renita menyapa ramah pada kedua sahabatku. Ia hanya tersenyum sekilas padaku, itu pun ada kesan terpaksa yang kutangkap.

Arin dan Rosi membalas sapaan Renita biasa saja. Aku juga tak mempersoalkan jika mereka berbincang dengan Renita atau siapa pun karena itu adalah hak mereka. Persoalan pribadiku dengan seseorang itu adalah pure urusanku. Tak berhak aku meminta apalagi memaksa Arin dan Rosi untuk turut memusuhi pihak yang berkonflik denganku.

"Istirahat di mana tadi?" Renita kembali bertanya. Pandangannya ditujukan ke Arin yang jaraknya paling dekat dari tempat Renita berdiri.

"Di depan," jawab Arin singkat. Arin yang selalu periang dan ramah, mendadak kehilangan itu semua kala berhadapan dengan Renita.

"Ini ... karyawan baru?" Akhirnya Renita menaruh perhatiannya padaku dengan bertanya seperti itu.

"Sebenarnya bukan baru, sih Ren. Meira ini karyawan lama yang sempat resign atas permintaan suaminya. Oh iya, lo kenal Arya kan, manager marketing itu. Nah, Meira ini istrinya Arya."

Rosi sepertinya sengaja menekan kata 'istri' tadi di depan Renita yang langsung bungkam. Air muka Renita pun berubah.

Senyum ramah lenyap dari bibirnya, digantikan oleh sorot dingin namun penuh penilaian terhadap diriku.

"Sekarang Meira comeback lagi di kantor ini, dan dia dipilih sendiri lho sama pak Farhan buat jadi sekretarisnya," ucap Rosi lagi, setengah berbisik. Entah maksudnya apa, aku hanya bisa tertawa dalam hati melihat caranya yang seolah sengaja membuat Renita gondok.

Mata Renita melebar seakan tak percaya kalau aku kini adalah sekretaris pak Farhan.

"Masa sih, pak Farhan milih dia jadi sekretaris? Dia kan udah meni__"

"Dia ini punya nama, Ren. M-e-i-r-a." Arin memotong ucapan Renita yang terkesan tak sopan padaku.

"Iya, Meira emang udah nikah, bahkan udah punya anak, kok. Tapi kalau sampai pak Farhan memilih Meira, ya mungkin karena beliau tahu kalau Meira emang 'layak'." tandas Rosi. Dan itu membuat tatapan dingin Renita berubah jadi tatapan tak rela terhadap keberuntunganku.

Tring!

Pintu akhirnya lift membuka.

"Eh yok," ajakku pada Rosi dan Arin. Kami bertiga segera bergerak menuju lift bersama yang lainnya.

Sengaja kusenggol tubuh Renita yang tak mau menyingkir dari jalanku. Ia hampir oleng lalu mulutnya mengumpat pelan. Aku hanya tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata padanya yang tampak berang karena tak bisa melawan.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANWhere stories live. Discover now