Part 9

6.5K 460 3
                                    

"Makasih ya Guys, udah nganter gue sampai rumah. Nggak masuk dulu, nih?" ucapku sembari berbasa basi menawari Rosi dan Arin untuk naik dulu ke rumah.

"Gilingan lo ye masih nyuruh kita singgah. Lo kan udah lihat dan ngerasain sendiri gimana sensasinya interview sama kanebo kering aka beruang kutub. Mau kita berdua dipecat?" jawab Arin sambil nyengir kuda.

Aku tertawa kecil menanggapi ucapan Arin. "Ya udah, sekali lagi thank's ya buat semua bantuan kalian. Hati-hati nyetirnya, Ros," pesanku pada Rosi yang ditanggapinya dengan anggukan.

"Kita pamit ya Mei, salam buat nyokap," ujar Rosi sebelum menekan pedal gas dan kembali melaju menuju kantor.

"Gimana Mei, interview-nya? Lancar?" tanya ibu saat kami sedang duduk di atas ayunan di samping rumah. Aku sedang menggendong Valetta sembari menyuapinya makan dengan bubur lunak. Letta tak terlalu rewel jika disuapi sambil diajak menghirup udara bebas begini.

Meski rumah kami terletak persis di pinggir jalan besar yang banyak dilalui oleh kendaraan yang berlalu lalang tanpa henti, tapi sekitar rumah kami selalu terasa teduh dan asri.

Hal itu dikarenakan oleh beberapa pepohonan buah yang ditanam oleh mendiang almarhum bapak, juga aneka tanaman hias yang selalu dirawat oleh ibu di sekeliling rumah.

Di sisi kanan rumah tempat aku duduk bersantai bersama ibu dan Letta sekarang, berdiri sebuah pohon jambu air yang buahnya hampir tak pernah putus. Pohon ini selalu berbuah sepanjang tahun dengan kualitas yang masih bagus seperti ketika pertama kali berbuah ketika aku masih kecil dulu.

Kembali ke pertanyaan ibu, kukatakan bahwa interview berjalan dengan cukup lancar. Tinggal menyerahkan hasilnya pada yang di atas saja. Terukir seulas senyuman di bibir ibu.

Hanya tinggal beberapa suap lagi makanan Valetta yang tersisa dalam mangkok kecil yang kujadikan wadah, namun dia sudah menolak ketika akan disuapi lagi.

Mungkin ia sudah kenyang, atau mungkin nafsu makannya belum kembali normal karena habis sakit tempo hari. Kubersihkan sekitar mulut Letta yang belepotan dengan menggunakan tissue basah.

Gadis cantikku menceracau dengan bahasa bayinya. Kupandangi wajah Letta yang bisa dikatakan hampir 80% mirip wajah mas Arya, ayahnya. Mengingat lelaki itu, kembali hatiku dihujam perih.

Bukan karena masih cinta. Karena sungguh, rasa itu telah sirna sepenuhnya dari hatiku. Tapi ini tentang kecurangannya di belakangku.

Andai saja kebusukannya terbongkar lebih awal, tentu saat itu juga aku sendiri yang akan meninggalkannya. Bukan dia yang seakan pergi karena kesalahanku.

Kembali melihat wajah Letta, aku seakan tak habis pikir. Bagaimana perasaan mas Arya ketika menimang buah hati kami ini setiap kali ia pulang kerja. Tak ingatkah ia pada Letta ketika ia bergumul dan mencumbui perempuan itu?

"Kamu kenapa Mei? Semenjak pulang dari interview tadi kamu jadi banyak diam. Apa ada hal yang tak ibu ketahui, Nak?" Lembut cara ibu bertanya, tetap saja tak menghilangkan isyarat kekhawatiran pada nada bicaranya.

"Nggak ada, Bu. Mei cuma lelah saja," dustaku. Tak mungkin membuka kartu mas Arya saat ini, di tengah banyak kemelut yang ada dipikiran ibu.

Aku sangat tahu bagaimana kerisauan hati ibu meski ia berusaha menyembunyikannya. Ibu takut memberatkanku setelah mas Arya tak lagi jadi penyokong ekonomi bagi kami.

"Yok Bu, kita masuk. Hari sudah mulai sore." Aku beranjak dari dudukan ayunan. Ibu mengambil alih mangkok yang masih berisi sedikit sisa makanan Valetta yang tak habis.

Namun langkah kami terhenti saat melihat seseorang tengah memasuki halaman rumah kami.

"Ibu masuklah dulu, tolong bawa Letta, ya?" Kuserahkan anakku dalam gendongan ibu. Ibu patuh saja tanpa banyak bertanya dan kemudian menghilang masuk ke dalam rumah.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANWhere stories live. Discover now