Part 12

7K 412 5
                                    

"Bawa apa itu, Mei?" tanya ibu saat aku memasuki rumah. Kuletakkan kantong belanjaan berlogo huruf G tersebut di sebelahku duduk.

"Dari Arin sama Rosi, Bu. Mereka kasih kejutan buat Mei."

Ibu tersenyum, namun sorot bingung terpancar dari kedua matanya yang mulai senja.

"Kejutan? Kamu kan nggak lagi ulang tahun. Masih bulan depan, toh?" ujarnya.

"Bukan kejutan ulang tahun, Ibuku sayang. Ini bahkan lebih berkesan dari sekedar kejutan ulang tahun. Ini tentang persahabatan dan solidaritas," jelasku. Dan ibu makin terlihat bingung.

"Bu, Mei diterima kerja. Senin lusa sudah mulai masuk. Sepertinya Arin dan Rosi tahu Mei nggak punya uang buat beli baju untuk dipakai kerja, Bu. Dan mereka membelikan ini semua untuk Arin."

Tenggorokan rasanya tercekat saat mengenang kebaikan kedua sahabatku itu. Sebak campur haru berkumpul jadi satu dalam dada.

Serupa denganku, ibu juga tampaknya terenyuh mendengar ceritaku. Ditepikannya kantong belanjaan tadi agar bisa duduk di dekatku.

"Alhamdulillah, Mei. Teman-temanmu baik sekali. Jarang masih ada sahabat seperti mereka di jaman sekarang ini. Kadang malahan ngaku teman tapi saling sikut di belakang," ucap ibu sambil mengusap pipiku yang basah oleh air mata yang tak mampu kubendung.

Aku mengangguk membenarkan ucapan ibu. Memang begitulah adanya. Jarang sekali bisa menemukan orang yang punya jiwa tulus tanpa pamrih.

"Letta mana, Bu?" tanyaku saat menyadari sedari tadi aku tak mendengar suara Letta anakku.

"Tidur. Lagi ditemenin tuh, sama Leny."

"Ya sudah Bu, Mei masuk dulu ya, ke kamar. Bentar lagi maghrib, sekalian mau siap-siap."

Aku beranjak bangkit seraya memunguti kantong belanjaan tadi untuk kubawa ke kamar.

****

"Mei, jangan lupa besok lo dah mulai kerja. Dateng sebelom jam 8 Mei. Inget, boss lo si kanebo kering itu manusia paling disiplin di kantor. Lo jangan cari mati dengan datang terlambat di hari pertama lo kerja!" Aku terpaksa menjauhkan speaker dari telinga untuk menyelamatkan gendang telingaku dari suara cempreng Arin.

"Halo? Mei? Meira?!" jeritnya di ujung sana.

"Masya Allah Arin, lo makan apaan sih, pagi-pagi gini udah powerfull aja suara lo. Gue nyaris terancam budeg nih." Aku menyahut setelah Arin tak lagi berteriak-teriak.

Tawa Arin berderai di ujung sana. "Sorry Mei, abisnya gue terlalu excited kita bakal balik se-kantor lagi. Yaa meskipun beda ruangan__gue di HRD dan lo terancam mati beku seruangan sama pak kanebo, at least kita kan bisa ketemu tiap hari kayak dulu!" serunya.

Aku tersenyum, ikut larut dalam euforia kegembiraan Arin. Sekaligus merasa geli dengan panggilan pak kanebo yang digelarinya untuk pak Farhan.

"Mei, jangan lupa dandan yang cetar, ya! Inget, lo bakalan sering ketemu sama si Arya sama perempuan centil itu nantinya. Lo harus bisa bikin Arya nyesel udah berani maen api dan bikin lo pergi!" cerocos Arin persis seperti kereta ekspress yang tengah melaju kencang di atas relnya.

"Yeey ... gue udah gak mau balikan kok, ngapain gue mesti bikin dia nyesel?" sanggahku mematahkan saran gila Arin.

"Yang bilang lo harus balikan tuh siapa, bencong? Gue bilang bikin nyesel kan gak mesti harus balikan. Cukup lo bikin dia nelen liur tiap kali dia ketemu elo di kantor nanti. Paham?" tegasnya.

"Iya iya, bawel." Kuiyakan saja agar mulut Arin tak makin merepet.

"Ya udah Mei, gue mau boker dulu. Bye!"

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang