Bab 24

1.1K 188 30
                                    

Ishan tahu apa yang Suster Elizabeth lakukan. Menjerumuskan anak di bawah umur untuk meracuni dirinya sendiri. Rokok adalah pintu masuk menuju kecanduan yang lebih parah, misalnya narkoba dan bukan mustahil maut menanti. Pecandu nikotin sangat sulit berhenti. Penderitaan menanti. Sakit kepala, mual, stres, bahkan mudah marah bila dipaksa mengakhiri.

Jangan lupakan risiko penyakit yang membayang di depan mata. Jahat, jahat sekali jika seseorang yang seharusnya menjadi contoh baik bagi anak-anak malah mempertontonkan bahkan mengajari aktivitas merusak tubuh. 

Ini bukan masalah sepele. Rokok menghancurkan kesehatan masyarakat Indonesia. Bukan hanya si perokok sendiri melainkan orang di sekitarnya yang cuma menghirup asap sisa. Malah perokok pasif terpapar bahaya lebih banyak. 

Seharusnya Ishan menerobos masuk, memarahi Suster Elizabeth karena mengajari anak kecil membahayakan diri sendiri. Namun Ishan malah girang. Kenahagiaannya tidak dilampiaskan dengan cara joged, tapi dia mengambil ponsel lalu memvideokan semua aktivitas Suster Elizabeth mencekoki Marcel dengan zat karsinogenik. 

Dulu, Ishan pernah bertanya-tanya apakah institusi agama memang sesuci itu. Beranjak dewasa, dia semakin mengerti bahwa manusia hanyalah seonggok daging berlumur dosa. Berita pelecehan anak di bawah umur oleh pemuka agama merebak di mana-mana, tergantung apa agama mayoritas di sebuah negara. Bodohnya, masih ada saja orang tua yang beranggapan menitipkan anak di sekolah berlatar belakang adalah jaminan keamanan. Ishan tak sabar menunjukkan video pada orang tua Marcel. Apakah ibunya akan menyesal menyekolahkan anaknya di sini hanya untuk dirusak.

Namun, sejenak Ishan melupakan kepentingan orang lain. Dia peduli pada kesehatan Marcel, tapi bisnisnya jauh lebih penting. Toh bocah itu bukan anaknya, cuma anak kecil bernasib malang yang Ishan temui selewat pandang. Marcel bukan anak kecil lucu. Kehadirannya menyesakkan. Berwajah murung serta miskin kata-kata. Jarang sekali orang kerasan berada di dekatnya. Selain karena aura kesedihan yang menyesakkan juga karena orang dewasa sebenarnya egois. 

Benar kan? Orang dewasa menyukai anak kecil karena lucu menggemaskan. Anak kecil mudah disenangkan. Cuma dibelikan permen berharga tidak seberapa, langsung menganggap pemberinya baik hati lantas mau mengikuti. 

Orang dewasa mendekati anak kecil karena butuh hiburan. Butuh menghilangkan beban. Anak kecil itu ceria. Tidak banyak maunya. Bermain dengan peralatan sederhana pun jadi. Tidak seperti orang dewasa yang kalau mau bersenang-senang saja harus ke luar kota, pesan tiket pesawat ratusan ribu rupiah. Mahal sekali menjadi dewasa. 

Ishan tidak begitu menyukai anak kecil, kecuali anaknya sendiri barangkali. Tentu saja dia ingin punya suatu hari. Ishan bermimpi membangun keluarga bahagia bersama Irene. Berharap punya anak dari benihnya yang disemai di rahim wanita yang agak dia cintai. Itu dulu. Sekarang Ishan membiarkan hidupnya mengalir apa adanya tanpa rencana muluk-muluk. Sebab segala sesuatu yang direncanakan biasanya malah berakhir berantakan. 

Melihat Marcel, jujur saja tebersit rasa iba meskipun cuma sedikit. Akan tetapi Ishan punya kepentingan di sini. Alam semesta tengah membantunya mewujudkan keinginan itu. Ishan terus saja merekam video. 

Marcel batuk-batuk saat asap berisi zat beracun meluncur memenuhi jalur pernapasannya. 

"Cowok itu keren kalau merokok," Suster Elizabeth menyemangati. 

Wajah Marcel memerah karena terbatuk-batuk parah. 

"Memangnya papa kamu nggak merokok ya?" 

Pertanyaan Suster Elizabeth ditanggapi gelengan Marcel. 

"Hmmm, kurang keren itu. Makanya kamu harus keren biar papamu bangga."

Ishan geleng-geleng kepala. Luar biasa cara Suster Elizabeth menyesatkan bocah ini. Iblis saja akan sungkem dan mengundurkan diri karena malu caranya menyesatkan manusia kalah canggih dibandingkan manusia itu sendiri.

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now