Bab 12b

1K 204 20
                                    

Hello Sexy Readers,

Ada yang merasa nggak kalau Wattpad mulai sepi, penulis kesayangan kalian nggak lanjutin nulis atau lanjutin nulisnya lama banget dan milih pindah ke platform lain? Karena pembacanya jarang komen dan vote.

Vote dan komen pembaca sangat berharga untuk menyemangati penulis tetap melanjutkan karya di platform gratisan seperti Wattpad.

So, vote dan komenlah yang banyak biar saya semangat. 😃

Thank you.

🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥

"Pak Alexius." Irene terhempas dari lamunan lima tahun yang lalu. 

"Pakai saja buat mengelap keringat kamu."

Ragu-ragu Irene mengusapkan sapu tangan menyeka keningnya. Harum ini. Ishan menyemprotkan parfum kesukaannya. Bottega Veneta Parco Palladiano I. Note bergamot, grapefruit, dan jeruknya terlalu familiar bagi Irene.

Irene tersenyum getir. Parfum ini adalah hadiah pertamanya untuk Ishan. Sejak saat itu, Ishan selalu membeli parfum yang sama setiap kali yang lama habis. Ah, andai saja Ishan gampang mengalihkan perasaan, mencintai perempuan lain menggantikan posisi kekasih lama di hatinya, Irene tak akan merasa sebersalah ini.

"Ada apa Bapak ke sini?"

Sempat terlintas di pikiran Irene kalau Ishan berniat melemparkan segala kenangan mereka ke wajahnya untuk menghantuinya, membuatnya bersalah dengan segala keputusan. 

Damian benar kalau Ishan menyedihkan. Ya, dia memang gagal bergerak maju. Jiwanya seakan terjebak di masa lalu, tetap memikirkan Irene beserta setiap detailnya. 

"Aku mau mencoba hidup menurut cara kamu."

Irene menatap lekat laki-laki itu. Ishan dan Ibra, adik laki-lakinya tidak pernah hidup susah. Generasi sendok emas. Irene lah yang mengajarkan arti berbagi pada kaum marjinal. 

"Kenapa? Kamu nggak percaya?" tantang Ishan. 

"Kalau Bapak mau ibadah, nanti pukul 12 bisa ikut doa Angelus."

"Kamu juga ikut?"

Irene mengangguk. "Setiap biarawati wajib mengikuti ibadah."

"Dan bekerja romusha tanpa digaji?" Ishan menambahkan. 

"Ini bukan romusha. Kami punya tugas masing-masing," bantah Irene. Perasaan melankolis digantikan secercah rasa jengkel.

"Tanpa dibayar," tambah Ishan. 

"Ini rumah kami, jadi kami wajib membersihkannya. Ini kebun kami. Jadi kami wajib merawatnya, toh hasilnya kami makan."

"Nona besar Moretti membersihkan biara seluas ini tanpa dibayar. Apa kamu nggak merasa diperbudak, Suster?"

Irene menggeleng seraya berdiri. "Saya bekerja untuk Tuhan dan saudari-saudari saya."

Ishan menyambar tangan Irene. Seketika rasa miris meremas jantungnya. Tangan yang dulu halus itu kini terasa kasar. Bahkan beberapa luka lecet tergurat di sana. 

"Apa yang para biarawati itu lakuin ke kamu?"

Irene menarik tangannya berusaha melepaskan. "Ini cuma lecet sedikit. Dua hari yang lalu panen nanas. Saya lupa pakai kaus tangan jadi..."

"Woah, Suster Irene nerima tamu cowok nggak bilang-bilang." Suster Elizabeth datang dari arah biara. Aromanya kini seratus persen mirip obat nyamuk. Senyum jail terukir di wajahnya yang bersorot ingin tahu. 

SANGGRALOKAOnde as histórias ganham vida. Descobre agora