Bab 3

1.9K 230 56
                                    

Ishan tergopoh-gopoh keluar dari unit apartemen. 'Adik kecilnya' terpaksa dia cekik agar tidak muntah. Cara itu berhasil, tapi kepalanya jadi sakit sekarang. Belum lagi omelan Fabiola yang sedikit lagi meraih 'that big-O' tapi diputuskan begitu saja.
Sambil mengancingkan kemeja, Ishan mengempit ponsel di antara bahu dan telinga. Decakan tidak sabar tercetus dari bibirnya.

"Selamat malam, Pak." Maura, sekretaris Ishan menjawab pada dering entah keberapa. Sekarang sudah pukul 10 malam.

"Ke kantor sekarang, cepat."

"Sekarang, Pak?"

"Ya."

"Harus sekarang banget, Pak? Nggak bisa ditunda besok?"

"Bisa kalau kamu mau kontrakmu tidak diperpanjang."

"Tapi, Pak..."

"Ingat, ijazah kamu dititip di perusahaan," balas Ishan sarat ancaman.

"Baik, Pak. Saya segera ke kantor."

Nah, Ishan suka ini. Menggenggam nasib manusia sungguh memuaskan. Demi uang, para karyawannya rela menggadaikan segalanya. Ijazah dititip, bahasa halus untuk ditahan. Ishan juga sangat menyukai Undang-Undang Cipta Kerja dan Perppu pengaturnya. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sekarang berlaku lima tahun dan bisa diperpanjang. Nararya Group juga menerapkan aturan tidak boleh menikah selama lima tahun pertama bekerja. Kalau melanggar, maka karyawan silakan angkat kaki tanpa uang pesangon. Perusahaan hanya mau menerima pegawai berusia muda, maksimal usia 30 tahun. Lebih dari itu, kontrak tidak diperpanjang. Uang kompensasi yang diberikan setelah kontrak berakhir pun tidak besar. Karyawannya jadi mudah diatur dan diperintah lantaran takut kontraknya tidak diperpanjang.

Ishan berjalan cepat masuk ke mobil. Ayahnya beraksi lagi. Dunia bisnis memang kejam. Ishan dididik untuk tahu, terbiasa, bahkan kalau perlu menerapkan kekejaman demi mencapai tujuan. Namun yang sekarang sudah kelewatan.
Apa yang Ishan tonton di berita tadi terlalu berlebihan. Sekelompok massa berkumpul di depan kompleks biara Santa Helena, meminta para biarawati, lansia penghuni panti jompo, dan semuanya untuk keluar dari sana. Lebih parahnya lagi, membawa-bawa agama.

Saat Ishan tiba di head office PT. Sanggraloka Nararya, Fabian, Maura, beberapa petinggi perusahaan dan tentu saja Damian Nararya, sang Presiden Director sekaligus ayah Ishan sudah berkumpul di ruang meeting.

"Papa, you have crossed the line," tuding Ishan tanpa basa-basi.

Semua kepala di ruang meeting sontak menoleh. Kening-kening itu sekarang mengernyit. Wajar saja, sebab penampilan Ishan acak-acakan. Dia belum sempat menyisir rambut.

Fabian yang duduk di seberang meraba dagunya, mencoba memberi tahu secara halus. Ada bekas lipstik di dagu Ishan.

"Ishan, duduk." Damian di usia kepala lima masih tampak bersemangat menjalankan roda perusahaan.
Ishan duduk diapit Fabian dan Maura, sang sekretaris yang tidak bahagia karena disuruh ke kantor malam-malam. Ishan mengamati sekitar. Di sebelah ayahnya ada Benedict Andes, pengacara langganan perusahaan dari HAD Law Firm.

"Sampai mana meeting kita?" Damian dengan tenang melanjutkan meeting.

Apa-apaan ini, meeting penting tapi Ishan tidak diundang. Kalau saja bukan Fabian yang memberi tahunya, pasti Ishan tidak akan tahu ayahnya menjalankan rencana kotor.

"Negosiasi, Pak," kata Fabian.

Damian mengangguk. "Saya yakin perwakilan biara akan segera membuka jalur komunikasi agar kita bisa menegosiasikan ganti rugi kompleks biara."

"Maaf, Papa, maksud saya Pak Damian, kalau Bapak membayar orang dan memakai isu agama untuk merampas hak orang, itu sangat tercela," potong Ishan tajam.

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now