Bab 9

932 209 54
                                    

Fabiola selama ini selalu penuh semangat. Matanya membara baikan api saat mengejar objek. Ishan tidak menolak sebab Fabiola cuma mengajak bersenang-senang. Belum pernah mereka membahas hal serius misalnya hubungan jangka panjang. Pengakuan Fabiola cukup membuat Ishan syok.

Mata yang biasanya berpijar agresif itu kini sedikit meredup. Ada sinar lain di sana. Sinar pengharapan dan perasaan. Sinar penuh permohonan agar diizinkan menelusup memasuki hati Ishan. Tidak, bukan nafsu sebagaimana hari-hari biasa saat mereka membakar gairah.

Ishan bukanlah batu. Sedikit belas kasihan menyusup ke nuraninya. Fabiola banyak berkorban untuk menyenangkannya meskipun tahu dia hanya dijadikan pelampiasan.

Ishan memejamkan mata membayangkan sosok lain. Empat tahun lamanya dia meniduri Fabiola tetapi membayangkan sosok lain. Irene.

Ishan pernah taruhan dengan Fabian bahwa Irene tidak akan betah lama-lama tinggal di biara. Semua serba terbatas. Kebutuhan duniawi ditekan seminim mungkin. Anak orang kaya mana yang akan tahan? Namun Ishan salah. Seminggu, sebulan, bahkan setahun terlewat. Irene belum menunjukkan tanda menyesali keputusannya.

Sesuai saran Fabian, sembari menunggu, Ishan menyibukkan diri dengan gadis-gadis lain agar dia tidak tampak menyedihkan atau gagal move on. Kenyataannya Ishan memang gagal move on.

Dari sekian banyak perempuan, hanya Fabiola yang menunjukkan konsistensi. Bukan cuma melemparkan diri secara sukarela ke pelukan Ishan, tapi juga mennyiapkan semua yang Ishan suka.

Mungkin ini tidak adil bagi Fabiola. Setelah semua yang Fabiola lakukan, pintu hati Ishan seakan bergeming. Tertutup rapat dan sulit dibuka. Namun Ishan tidak tahu bagaimana caranya berhenti memikirkan Irene, bagaimana caranya membuka kembali pintu hatinya.

Hari ini, Ishan sedikit melunak. Dia mengingat ciuman terbaiknya untuk Irene.

Ishan menyelipkan tangan ke belantara rambut Fabiola yang basah. Satu tangan yang bebas mendorong punggung ramping itu mendekat hingga tak berjarak.

Puncak dada Fabiola terasa keras menggesek kulit Ishan. Tidak, ini bukan Fabiola tetapi Irene. Ishan disergap kerinduan yang menyakitkan untuk melabuhkan bibirnya, mereguk manis bibir Irene seperti empat tahun yang lalu.

Ciuman Ishan berlangsung lama. Dia masih mengingat dengan jelas fitur bibir Irene yang basah dan lembut. Rasanya baru kemarin.

"Oh," Fabiola mengerang pelan ketika bibirnya diisap. Tanpa ragu dia membalas ciuman itu.

"Kita ke kamar ya, Sayang," bisik Ishan di telinga Fabiola.

"Oh," Fabiola mengerang pelan ketika bibirnya diisap. Tanpa ragu dia membalas ciuman itu.

"Kita ke kamar ya, Sayang," bisik Ishan di telinga Fabiola.

"Ka-kamu manggil aku apa?"

"Sayang," Ishan mengulangi dengan nada sama lembutnya.

Lengan Ishan mengangkat Fabiola dengan mudah. Sekejap saja Fabiola sudah tak lagi berdiri di lantai kamar mandi yang basah dan dingin. Kini dia berada dalam rengkuhan sepasang lengan yang kuat dan memeluk dada yang hangat.

"Aku mau melakukannya secara tradisional," ucap Ishan.

"Huh?" Mata Fabiola mengerjap tidak mengerti.

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now