Bab 25

887 212 26
                                    

"Berkah dalem, Suster. Pagi, Pak." Pak Suparno menyapa Ishan yang memasuki gerbang sekolah bersama Irene.

Pak Suparno sibuk beramah tamah dengan siapa saja yang datang.

Pukul delapan pagi, taman kanak-kanak St. Helena mulai menampakkan geliat kehidupan. Sedikit sekali orang tua mengantarkan anak mereka mengendarai mobil. Umumnya orang tua dan anak bergandengan tangan berjalan kaki. Beberapa menggunakan sepeda motor, tapi yang paling banyak adalah sepeda. 

Eyang Josef pernah bercerita pada zaman beliau, sepeda merupakan kendaraan mewah. Rakyat jelata hanya memanfaatkan dua kaki sebagai moda transportasi. Hari ini kebalikannya terjadi. Justru bersepeda dianggap sederhana, kecuali bagi penduduk Jakarta gila flexing yang membeli sepeda roda dua seharga ratusan juta demi memenuhi ego semata agar tidak kalah gengsi dengan mobil. 

Teriakan 'Dadah Ibu', 'Dadah Bapak' dan 'Belajar yang Baik' menyesaki udara. Ceria, ada juga tampang malas-malasan seakan baru bangun tidur, tapi tidak ada yang murung kecuali Marcel. 

Andai saja Ishan dan Irene jadi menikah empat tahun lalu, dua tahun lagi kemungkinan akan mengalami hal yang sama dengan para orang tua itu, mengantar anak masuk ke playgroup atau TK.

Cukup mengkhayalnya. Ishan dengan kejam membunuh imaji dalam kepalanya. Buat apa menginginkan hal yang tidak akan pernah terjadi? Buang-buang waktu saja. Lebih baik fokus dengan apa yang dihadapi daripada bermimpi mengulang waktu. 

"Pak Suparno bekerja juga di sini," ucap Ishan.

"Menggantikan Pak Sumarso, satpam lama, sering sakit belakangan ini. Maklum sudah sepuh."

Ishan menoleh sejenak pada Suparno. "Dia terlalu ramah jadi satpam. Kalau aku jadi penculik, senang banget. Ajak ngopi dan ngerokok buat dapatin anak yang kujadikan korban."

Irene tersenyum, anehnya bukan senyum senang tapi malah senyum kecut.

"Saya tinggal sebentar ke ruang guru." Pamit Irene.

Ishan mengangguk. Ponselnya tak pernah berhenti bergetar. Ada saja urusan kantor menyita perhatiannya. Ishan mencari tempat untuk membalas chat yang menumpuk. Dia berjalan terus hingga menemukan tangga menuju lantai atas.

Marcel duduk di anak tangga paling bawah. Lantai dua dari taman kanak-kanak ini adalah ruang serba guna yang hanya dibuka untuk acara khusus misalnya perayaan Paskah, Natal, Hari Ayah, Hari Ibu, Hari Kartini, dan ulang tahun sekolah. Beberapa meter di sebelahnya terdapat gudang penyimpan keperluan sekolah dan dekorasi. Jarang manusia menyambangi. Marcel suka sekali duduk di anak tangga sembari termenung.

Terakhir kali Ishan melihatnya, Marcel menangis. Sekarang mata bocah itu menatap nyalang ke pintu kelas. Rambutnya sedikit acak-acakan.  Ishan bertanya-tanya apakah ibu anak ini tidak menyisirinya? 

Ishan membalas chat dari beberapa direktur kemudian memasukkan ponsel ke saku kemeja. Dia berjalan mendekat. Berdiri menjulang di depan Marcel sehingga memblokade pandangannya. "Boleh saya duduk?"

Marcel tidak menjawab, hanya menggeser bokongnya. Ishan menelisik air muka Marcel, lantas memutuskan bergabung setelah memastikan suasana hati bocah itu tidak buruk. Sebenarnya suasan hati Marcel 90% buruk. Mulutnya selalu melengkung ke bawah.

"Jam berapa kamu datang ke sekolah?" Astaga, Ishan berharap suaranya lebih ramah. Akan tetapi berurusan dengan anak-anak bukan perkara mudah. Sikap Ishan canggung dan serba salah. 

"Jam 7." Marcel menjawab tapi tatapannya nyalang ke depan. 

Ishan terkejut Marcel mau menjawab. Dia mengira anak itu akan kabur ketakutan. 

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now