Bab 17

952 208 52
                                    

Berkali-kali Irene mengingatkan supaya mereka cepat pulang ke biara, berkali-kali pula Ishan mengulur-ulur waktu. Selesai makan, Ishan malah sengaja belok ke toko buku. 

Seingat Irene, Ishan suka membaca buku investasi, pengembangan diri, kepemimpinan, dan bisnis. Terkadang Ishan membeli buku seni negosiasi atau mempengaruhi orang. Di luar pekerjaan, Ishan akan membaca biografi para jenderal perang. The art of War Sun Tzu termasuk buku favoritnya. 

Ishan bisa mengajak Irene berjam-jam membahas siasat perang sang jenderal China. Salah satu yang paling Irene ingat adalah dalam perang harus memperhitungkan iklim, tanah, cuaca, faktor geografis lainnya. Ini Ishan terapkan dalam bisnis. Ishan memahami betul bahwa hidup adalah medan perang. Semua manusia di hadapannya hanya dikategorikan sebagai kawan atau lawan. 

Fakta, fakta, dan fakta. Ishan tipe laki-laki yang sangat realistis. Dia membenci buku fiksi terutama novel menjual mimpi. Kalaupun membaca novel, Ishan akan memilih karya Agatha Christie atau novel hantu-hantuan karya Risa Saraswati. Tentu saja untuk diperolok. Ishan tidak percaya hantu. 

Sungguh aneh kalau sekarang Ishan berdiri di depan rak buku anak. Mengamati seluruhnya, mengambil satu per satu buku bergambar, membuka halaman demi halaman lalu meletakannya lagi. 

"Apa Ibra sudah menikah?" Irene menduga adik Ishan sudah menikah. Mungkin Ishan mau membelikan buku untuk keponakannya. 

"Umurnya baru 18 tahun. Baru masuk kuliah."

"Terakhir kali ketemu, Ibra masih SMP ya." Irene mengenang. Cepatnya waktu berlalu. Ibra tidak kalah ganteng dibanding Ishan. Hanya lebih pendiam, tipe pecinta damai yang anti keributan. Tidak seperti kakaknya yang tengah berdiri dekat Irene. Sehari saja tidak bertengkar sepertinya gatal-gatal. "Apa Ibra kuliah bisnis juga?"

"Nope. Dia ambil DKV."

Napas Irene sempat tertahan. Keluarga Nararya bukan keluarga yang open minded dalam menentukan jurisan kuliah. Ada jurusan-jurusan unggulan yang dianggap mendukung keberlangsungan perusahaan. Pertama jelas bisnis, manajemen, akuntansi, ya semacam itulah. Kedua hukum. Perusahaan sangat membutuhkan pengacara yang ahli di bidang pertanahan dan bisnis. Kelas ketiga mungkin teknik, terutama sipil dan arsitektur untuk mengurus project. Kalau mau melenceng karena kurang berminat pada tiga kasta teratas jurusan rekomendasi Keluarga Nararya, sesial-sialnya bolehlah masuk fakultas kedokteran untuk mengurus bisnis klinik kecantikan. Itu pun harus 'mencuci ijazah' begitu lulus S1, caranya adalah mengambil program magister bisnis. 

"Papa..." Kerongkongan Irene macet seketika. Kedekatannya dengan keluarga Nararya mengakibatkan Damian dan Seraphina mengizinkannya memanggil Papa dan Mama. "Ehmm, apa Pak Damian mengizinkan?"

"Mana mungkin. Papa nggak mau keluar uang sepeser pun untuk membiayai kuliah Ibra. Sekarang Ibra jualan ilustrasi dan foto untuk bayar sendiri kuliahnya. Papa sudah lama nggak bertegur sapa sama Ibra."

Sifat otoriter Damian bisa mencuat kalau menyangkut bisnis dan masa depan anaknya. Irene tidak menyangka di balik casing Ibra yang kalem ternyata tersimpan sisi pemberontak. 

"Papa mau lihat sejauh apa Ibra bertahan. Mama diam-diam masih suka kasih uang. Aku juga. Nggak mungkin lah kubiarkan adikku luntang-lantung di jalanan, tinggal di kolong jembatan. Papa ngusir Ibra dari rumah," Ishan menjelaskan sambil melihat isi salah satu buku bergambar. 

"Ibra diusir?" bisik Irene tertahan. 

"Tenang aja. Aku ada apartemen dekat kampusnya Ibra. Dia tinggal di sana. Kupikir bagus juga anak itu tinggal sendiri, belajar mandiri. Si Ibra itu aneh. Dapat uang lima juta sebulan dari jualan ilustrasi saja sudah kegirangan. Padahal, bisa buat beli apa sih lima juta itu?" cemooh Ishan.

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now