Bab 13a

996 195 25
                                    

Mayoritas penghuni biara adalah perempuan. Satu orang pastor dipercaya menggembalakan umat. Namanya Romo Filipus Basuki. Usianya sudah 60 tahun. Beliau bertugas mempersembahkan misa setiap hari bagi bagi para biarawati, serta misa pada hari Sabtu dan Minggu untuk umum. Pastor ini juga bertugas memberikan sakramen tobat pada mereka yang menginginkan dan sakramen pengurapan orang sakit, terutama pada pasien beragama Katolik yang diprediksi menghadapi sakratul maut. Dengan kata lain, biara ini miskin kaum Adam kecuali dokter di rumah sakit.

Permintaan Ishan sungguh aneh malah sangat kurang ajar. Mau tinggal di biara bersam biarawati, tentu ini sangat mencurigakan.

"Bapak nggak bisa tinggal di sini," ucap Irene.

"Kenapa nggak?"

"Karena Bapak laki-laki."

Ishan menunjuk Pak Suparno yang berdiri cukup jauh. "Apa dia laki-laki jadi-jadian? Hasil operasi ganti kelamin?"

Wajah Irene merah padam. Dia hafal betul tabiat Ishan. Anak orang kaya tidak terbiasa mendengar kata tidak apalagi penolakan. Justru penolakan akan membuatnya semakin ngotot memaksakan kehendak sampai dapat.

"Dia beda," jawab Irene. Dia paling benci berdebat. Menurutnya hanya membuang-buang waktu.

Sayang sekali Ishan berbeda pendapat. Menurutnya berolahraga lidah adalah hal mengasyikkan. Dia suka kompetisi dan merasakan sensasi kemenangan. Irene yang gampang menyerah ini semacam mangsa empuk baginya.

"Apa bedanya? Kami sama-sama manusia berjenis kelamin laki-laki."

"Pak Suparno membantu saya di kebun dan juga satpam di sekolah."

"Kalau begitu saya juga mau membantu Suster Irene di kebun. Jadi satpam juga boleh. Jangankan satpam, saya bersedia menjadi bodyguard yang mengawal Suster ke mana saja."

Irene mengibaskan tangan karena kesal. Dia melangkah melewati Ishan. Lebih baik mengurus singkong daripada mantan calon suaminya yang menyebalkan.

"Suster Elizabeth, tolong beri Bapak ini pengertian," pinta Irene.

"Oke." Suster Elizabeth menyahut dengan mata berbinar-binar, tidak lupa membuat huruf 'O' dengan telunjuk dan jempolnya.

"Saya ke TK." Irene berubah pikiran. Tadi dia mau mencabut singkong matang. Diiris tipis, direndam air lalu digoreng, pasti enak. Mulai dari anak TK sampai Mbah panti jompo semua menyukai keripik singkong buatan Irene. Akan tetapi kalau dia berada lebih lama di kebun, Ishan pasti akan lebih lama lagi mengganggunya.

Suster Elizabeth menunggu sampai Irene pergi. Begitu punggung Irene menjauh, Suster Elizabeth mendekati Ishan.

"Masnya mau tinggal di sini?"

"Semacan live in untuk mengetahui kehidupan di sini."

"Mulia sekali," puji Suster Elizabeth.

"Suster bisa menolong saya?"

"Sebenarnya nggak bisa sih, tapi..." Suster Elizabeth menggosokkan kedua telapak tangannya seraya tersenyum penuh arti.

Ishan paham benar arti kode-kode. Dia tidak marah. Ishan senang karena di negara ini kejujuran menempati level bawah. Kebanyakan manusia negara ini masih memikirkan perut. Inilah yang disebut simbiosis mutualisme. Ishan butuh memuluskan tujuan, sementara orang di hadapannya butuh uang.

Ishan mengambil dompet dari saku celananya. Saat membuka, dia berdecak, "Cuma ada dollar."

"Oh nggak masalah, Mas. Saya suka dollar. Bisa untuk investasi."

Mata Ishan membola. "Suster tahu investasi?"

"Jelas dong. Saya kan suka belajar. Ada orang tua murid yang suka bahas investasi. Apa tuh yang lagi ngetren, Mas? Crypto, terus saham, terus NFT. Apa lagi ya?"

Ishan terkekeh. Kagum sekaligus bahagia. Suster Elizabeth akan menjadi partner in crime. Rekan sekongkol nomer satu.

"Segini cukup?" Ishan menarik selembar pecahan seratus dollar Amerika Serikat bergambar Benjamin Franklin.

"Cukup." Suster Elizabeth mengambil uang itu dari tangan Ishan. "Sebentar ya, saya lapor Suster Beatrix dulu kalau ada tamu."

Suster Elizabeth menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan Pak Suparno sibuk memetik alpukat sehingga tidak mendengarkan obrolannya. Setelah itu dia melangkah lebar ke ruang Suster Kepala.

***

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now