Bab 7

1K 216 18
                                    

"Berhasil kan, Pak?"

Hanya tiga kata yang meluncur dari bibir Maura sukses menjatuhkan mood Ishan ke titik nadir. Bukan salah sekretarisnya bertanya seperti itu. Negosiasi di mana Ishan terlibat di dalamnya, kebanyakan berhasil. Ishan mempelajari manusia beserta kebutuhan dasarnya. Selama ini uang selalu berhasil membolak-balikkan prinsip manusia, dari kokoh pada idealisme dan moral berbalik arah menjadi realistis dan amoral.

Karena pertanyaannya tak kunjung dijawab, senyum Maura pudar. Kepalanya kembali menghadap ke depan. Pak Muhtar pun tak berani mengusik Ishan.

Ishan hanya berdiam diri, melempar pandangan ke menara gereja yang menjulang dari parkiran rumah sakit. Ada manusia yang tidak butuh uang, bahkan iming-iming jumlah besar pun tidak menggoyahkan iman.

Ponsel Ishan berdering. Orang yang paling tidak ingin ditemuinya malah menelepon. Ishan membiarkannya beberapa saat sampai dering berhenti. Akan tetapi, bukan Damian Nararya namanya kalau mudah menyerah. Ishan kenal betul siapa ayahnya.

"Ya, Pa," sapa Ishan tidak mood.

"Nggak berhasil kan?"

Ishan nyaris tersedak. Jangan bilang ayahnya belajar ilmu percenayangan.

"Hampir, sedikit lagi." Di depan ayahnya, Ishan tidak akan mengakui kekalahannya.

"Saya sudah bilang, pakai cara itu saja. Nanti saya koordinasikan dengan orang-orang kita untuk menyerbu biara."

"Aku bisa. Papa tunggu saja. Sedikit lagi."

"Kita dikejar waktu, Shan."

"Dikejar waktu bagaimana? Eyang sehat-sehat saja kan? Papa ini bicara kita dikejar waktu seolah Eyang sudah mau meninggal," ketus Ishan.

"ISHAN!"

"Aku minta, Papa jangan mengganggu Irene. Banyak cara lain yang lebih beradab untuk mendapatkan keinginan kita."

"You terlalu lemah. Urusan perempuan yang sudah mengkhianati you saja bikin nggak profesional. Padahal perempuan itu nggak mikirin  you sama sekali."

Sial, kalau saja yang berada di speaker ponsel bukan ayahnya, niscaya Ishan akan mengabsen seluruh kata makian.

Lirik ketakutan Maura dari spion persegi panjang menyadarkan Ishan bahwa percakapan tidak berguna yanh malah memicu api pertengkaran ini sebaiknya disudahi saja.

"Papa tunggu saja. Jangan gegabah."

Akan tetapi Damian tampaknya tidak sependapat. Dia kembali merongrong kesabaran Ishan.

"Sejak kapan saya mendidik you jadi lemah, Shan? Perempuan itu cuma masa lalu." Yah begitulah Damian, sebisa mungkin tidak menyebutkan nama Irene. "Dia nggak merasa bersalah ninggal kamu gitu saja, mempermalukan keluarga kita..."

Ishan memijat pangkal hidung. Migrain mendadak menyerangnya. "Kita sudah bahas ini ratusan kali."

"Thousands for sure, tapi saya akan tetap bahas ini sampai you paham. Don't be pathetic, Shan. Dunia ini berjalan hanya karena kepentingan, bukan perasaan. You masih ingat dia, tapi dia nggak sama sekali."

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now