Bab 4

1.1K 208 25
                                    

Embraer Phenom 300 berlogo Nararya Group mendarat di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Perusahaan membeli dua private jet untuk kepentingan operasional. Terkadang ada tamu penting yang meminta dijemput dengan pengawalan ketat. Tidak hanya itu, petinggi perusahaan pun kerap menggunakannya untuk berbagai keperluan, seperti Ishan sekarang.

"Oke, Pak. Pesawat kami baru saja mendarat." Maura berjalan tergopoh-gopoh di belakang Ishan sembari menelepon supir yang menjemput mereka.

Ishan menggeret koper menuju pintu keluar bandara tanpa menunggu Maura. Sekretarisnya kesulitan menyusul langkah Ishan mengingat proporsi tubuhnya mungil.

"Pak, Vellfire putih sudah menunggu di pintu keluar terminal kedatangan." Benar saja, seorang pria kira-kira berusia 40 tahunan mengulas senyum lega begitu Ishan dan Maura muncul.

"Pak Muhtar, kita langsung ke Ambarawa."

Pak Muhtar merupakan supir hotel Sanggraloka Marina. Tugasnya stand by di sana jika sewaktu-waktu dibutuhkan oleh tamu penting atau petinggi perusahaan. Dia sedikit kaget dengan permintaan Ishan, tetapi mengangguk patuh seraya menaikkan koper Ishan dan Maura ke bagasi.

Vellfire melaju. Pak Muhtar sengaja mengambil jalan memutar dahulu ke utara agar Ishan menyaksikan pemandangan Pantai Marina. Sekarang masih pagi. Matahari sudah terbit meskipun belum terlalu terik. Tak jauh dari pantai, berdiri hotel milik Nararya Group.

Keahlian Damian Nararya dalan mengendus lokasi yang baik tidak perlu diragukan. Hotel Sanggraloka Marina bertahan dua tahun dari serangan pandemi meskipun tingkat okupansi hotel sempat anjlok 90% berkat program Damian. Hotel Sanggraloka Marina menawarkan WFH alias Work from Hotel dan SFH alias School from Hotel selama masa pandemi. Harganya pun didiskon. Siapa yang sanggup menolak tinggal di hotel dengan pelayanan prima dan pemandangan ke pantai berharga miring? Meskipun kamar hanya terisi 60%, cukuplah untuk menggaji karyawan dan membayar biaya operasional seperti listrik, air, dan internet.

Di dalam mobil, Ishan merenung. Jika Damian begitu ngotot mengambil alih biara, pastilah lokasinya sangat profitable di masa depan.

Vellfire turun ke selatan, ke daerah yang lebih sejuk. Maura yang duduk di jok depan sampai membuka jendela ketika memasuki kawasan Ambarawa. Udaranya segar sekali. Belum banyak kendaraan bermotor lalu lalang. Jalanan lengang, tidak perlu khawatir terjebak macet seperti di Jakarta.

"Ini kompleks biaranya, Pak." Pak Muhtar mengembalikan Ishan ke dunia nyata.

"Besar juga ya," komentar Maura terkagum-kagum melihat luasnya parkiran.

"Ini rumah sakit, Mbak. Biara, gereja, kebun sayur, TK, sama panti jompo di belakang. Kalau ndak salah, luas total lahannya sepuluh hektar, Mbak. Dikasih tahu orang dalam." Pak Muhtar memberi tahu dengan nada bangga karena mengenal orang dalam.

"Itu gunung apa, Pak?" Maura menunjuk siluet gunung yang tampak jelas dari lokasi mobil diparkir.

"Oh, itu Gunung Merbabu, Gunung Andong, sama Gunung Telomoyo."

Dari percakapan sekretaris dengan supirnya, Ishan paham kenapa ayahnya begitu ngotot mau mengambil alih biara. Pemandangan indah, udara sejuk. Lokasi yang cocok untuk berlibur.

"Kasian Mbak sama suster-suster sini. Dua hari yang lalu digeruduk orang-orang bawa spanduk 'Stop Kristenisasi'. Lanang-lanang gedhe duwur minta kompleks biara dikosongkan karena ndak mau ada yang dikristenkan lagi."

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now