Bab 6

1.1K 211 29
                                    

🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥🔥

Kecewa? Tentu saja. Jangan ditanya bagaimana kecewanya Ishan ditolak setelah mengajukan penawaran. Itu adalah penawaran terbaik. Hei, dia kenal banyak pengusaha nasional. Keuntungan finansial selalu diprioritaskan. Malah kalau perlu membayar harga tanah di bawah nilai NJOP atau Nilai Jual Objek Pajak. Josef menekankan untuk tidak melakukan itu meskipun Damian seringakali melanggar perintah sang ayah.

Ishan masih mau mendengar petuah Josef agar bersikap adil dalam setiap transaksi bisnis. Jangan sampai merugikan pihak lain. Hubungan baik dan integritas harus dijaga. Ya, ya, ya. Ishan menuruti saran Josef, tapi apa yang dia dapat? Penolakan.

Suster Beatrix menyebutkan hal yang masuk akal. Sejarah katanya? Oh ya, Ishan sangat menghargai masa lampau. Dia percaya segala sesuatu yang terjadi pada masa kini adalah hasil dari rentetan kejadian masa lampau.

Perlu contoh? Ambillah contoh keluarga besarnya sendiri. Jika eyang yutnya tidak bekerja di rumah saudagar Belanda, tidak sekolah, niscaya sang eyang yut masih miskin. Mungkin kalau pun berdagang hanya bisa dagang pecel kecil-kecilan.

Lalu eyang kakungnya, Josef Nararya, kalau saja dulu tidak memilih berteman dengan pebisnis Tionghoa dan malah bergaul dengan sesama orang Jawa kebanyakan, paling-paling beliau hanya jadi PNS dengan uang pensiunan kurang dari Rp. 5 juta sebulan.

Keluarga Nararya menjadi konglomerat di masa kini, karena leluhurnya memilih menjadi pedagang dan pengusaha di masa lalu. Ishan sangat menghargai keputusan itu.

Akan tetapi, keputusan Suster Beatrix menurutnya sangat tidak bijaksana. Memilih sejarah dibandingkan uang. Benar-benar konyol.

Diapit tiang kayu, kaki melindas ubin hitam khas Belanda tempo doeloe, Irene dan Ishan berjalan bersisian setalah keluar dari ruangan Suster Kepala. Di belakang mereka diekori Maura.

Siang hampir menyapa, tapi matahari belum menampakkan garang. Keteduhan biara diapit gunung-gunung sungguh jauh dari kesan gersang.

Tumbuhan ditata apik. Sejauh mata memandang hanya ada jalan setapak memisah taman nan cantik. Pohon holly amerika memanjakan perut burung gelatik. Kalau tidak ingat 'tugas negara', Ishan ingin liburan alih-alih putar balik.

"Rene," Ishan memanggil beserta sisa-sisa harapan.

"Suster Irene," ucap Irene meralat panggilan Ishan untuknya.

"Maaf, Suster Irene. Bisa bicara sebentar?"

Maura menunggu. Sepertinya akan ada pembicaraan maha penting antara atasannya dengan biarawati ini. Sayang sekali Ishan menoleh.

"Maura, kamu balik saja ke mobil."

Maura mendesah kecewa. Padahal dia sudah berharap akan mendengar sesuatu antara Ishan dengan Irene.

"Sekarang, Pak?" Maura tak ingin meninggalkan atasannya.

"Nanti kalau kamu sudah tidak bekerja." Ishan memberi tatapan tak ingin dibantah.

"Oh ya udah, kirain sekarang."

"Saya telepon Kirana untuk merumahkan kamu."

Kalau sudah bawa-bawa nama manager HRD, Maura tidak bisa berkutik. Meskipun berat hati, Maura berbalik mencari di mana mobil diparkir.

"Pak Alex mau bicara apa?" tanya Irene lembut.

"Suster," Ishan sempat gugup selama beberapa detik. Sulit sekali memanggil perempuan yang pernah tinggal di relung hatinya dengan sebutan 'Suster'. Dia harus bersaing dengan Tuhan sendiri jika ingin merebut Irene.

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now