Bab 15

960 198 38
                                    

Irene lama sekali tidak ke mall. Jangankan mall, ke pasar saja jarang. Biara memenuhi sebagian besar kebutuhan secara mandiri. Sayur dan buah menanam sendiri. Pakaian menjahit sendiri. Beras membeli langsung dari petani, malah ada yang memberi sebagai ucapan terima kasih pada biara karena anaknya bisa bersekolah di TK secara gratis. 

Seratus tahun lebih biara hadir, masalah yang sama muncul. Kemiskinan yang sulit dientaskan. Skalanya berkurang, tapi masih banyak. Biara hadir mengulurkan tangan. Bekerja sama dengan peternak sekitar, tak jarang biara mengadakan bazaar murah. Barang jualannya daging, ayam, dan telur, tepung, serta minyak goreng. 

Irene senang sekali kalau Biara mengadakan acara seperti ini. Seluruh rekan biarawati, mbah-mbah panti, sampai orang tua murid di TK membantu persiapan. Orang tua murid yang mampu secara ekonomi terkadang menyumbang minyak goreng. Warga kurang mampu di Semarang bawah berbondong-bondong mengantri. 

Kini, setelah lama tak menginjakkan kaki di mall, Irene merasa bagaikan alien yang pertama kali mendarat di bumi. 

Ishan membawa Irene ke mall terbesar dan termewah di Semarang. Begitu pintunya dibuka, hawa dari penyejuk udara segera menyapa Irene. 

Biara tidak mengenal penyejuk udara buatan. Semua serba alami. Efeknya bisa dilihat. Suster Agatha dan Suster Cecilia masih bugar di usia menginjak 90 tahun. Masih sanggup berjalan-jalan tanpa tongkat. Udara dan makanan sehat berefek baik untuk tubuh. 

"Are you okay?" Ishan bertanya ketika Irene diam saja di depan pintu. 

Di masa lalu, keluar masuk mall sangat biasa untuk Irene. Terlebih Joyce. Setiap kali ke Grand Indonesia, tak akan melewatkan butik merek dunia. Kini semua terasa asing bagi Irene. 

"Ya, aku nggak pa-pa." Irene sudah lama meninggalkan kebiasaan menyelipkan kosakata bahasa asing dalam ucapannya. Tidak semua biarawati berasal dari keluarga kelas atas yang terbiasa berbahasa Inggris setiap hari. Awal masuk biara dulu, Irene masih terbawa kebiasaan. Hasilnya, banyak rekan satu angkatan sering meliriknya tajam. 

"How long have you not visited any malls?"

"Pak..."

"Mau sampai kapan kamu panggil aku Pak? Aku nggak pernah jadi bapakmu."

"Lex," Irene mengalah. Jangan harap Ishan mau menghentikan perdebatan. Seharusnya dia jadi pengacara saja karena sangat menyukai perdebatan, "Kamu tahu saya nggak seperti dulu."

"Masih betah kamu menjalani hidup seperti sekarang? Semua serba terbatas. Semua serba diatur. Kerja keras tapi nggak digaji. Karyawanku saja lebih sejahtera daripada kamu. Itu Maura, sudah bisa nyicil Honda Beat pakai gajinya. UMR Jakarta lho, Rene. Kamu?"

Merendahkan lawan bicara adalah salah satu trik Ishan agar menyetujui argumennya. Irene tidak akan goyah. 

"Karyawan kamu memang butuh uang. Saya pun butuh, tapi bukan yang utama. Saya masih bisa makan dan hidup berkecukupan tanpa uang." Irene menjawab kalem, tetapi sudut hatinya membenarkan Ishan. Ada masanya dia mempertanyakan kewajiban dan jam kerja biarawati yang tidak sebanding dengan upahnya. Namun pemikiran kritis itu dieliminasi oleh keyakinan bahwa dirinya mengabdi pada Tuhan dan sesama.

"Lalu apa gunanya orang tua kamu bayar kuliahmu, Rene? Secara bisnis, orang tuamu rugi. Ini namanya investasi bodong."

"Sejak kapan pendidikan dianggap sebagai investasi?"

"Are you kidding me?" Ishan terkekeh, "Sejak zaman VOC masih berkuasa, pendidikan sudah dianggap sebagai sarana investasi. Pejabat zaman dulu diisi orang Belanda yang bersekolah. Kamu tahu sendiri pribumi cuma jadi pekerja kasar."

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now