05 : Taruhan

4.2K 821 80
                                    

"Jadi gimana? Lo udah siap lomba lari sama gue?" Mata gue menyorot Jingga tenang. Dalam satu kata yang membuat gue semangat adalah Jingga bakalan jadi milik gue mulai saat ini.

Jingga memandang gue datar. Wajah nya tampak sedikit berbeda. Terlihat lebih cantik dari biasanya, dengan rambut berwarna purple dan mata sipit itu mengangguk setuju.

"Mulai dari mana?" Jingga mengambil ikat rambut dan mengkuncirnya.

Gue mengambil ranting lalu menggoreskan ketanah. Bertanda itu adalah start untuk memulai perlombaan. "Ini," gue menunjuk garis tersebut, "kita mulai dari sini, terus berlari kearah danau di ujung sana!" Gue menunjuk danau di tepi sana. Jarak dari sini ke sana lumayan jauh.

Jingga mengangguk paham. Gue tersenyum tipis, "kalau lo kalah, inget perjanjian kita."

"Berisik lo." Jingga menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Gimana mulai?" Gue membuang ranting sembarang. Lalu memandangi cewek di samping gue serius. Dia berdecih lalu mengangguk.

"Dalam hitungan tiga, mulai." Gue dan Jingga berjongkok bersedia. Saling menatap seakan meremehkan satu sama lain.

"Satu."

"Dua."

"Tiga!"

Berlari dengan sekuat tenaga. Gue sama Jingga berlari kejar mengejar. Dalam setengah perjalanan, Jingga masih terlihat aman. Namun hembusan napasnya mulai tidak teratur.

Gue menengok kebelakang dan berteriak, "kalau enggak sanggup bilang ya!"

Jingga mendongak dan menggeleng, "halusinasi lo ketinggian!"

Gue menggangkatkan bahu acuh dan terfokus pada danau di ujung sana.

Sedikit lagi. Ya, Jingga bakalan jadi milik gue.

Hingga beberapa langkah. Hitungan detik dan berhasil!

Gue pemenangnya.

"Jadi?" Gue menggangkatkan sebelah alis sombong. Terdapat Jingga dengan wajah memerah padam. Dia sedang berjuang berlari menghampiri gue.

"Lo curang." Jingga berjongkok lalu mendudukkan dirinya ke tahan, "mana ada lo dari hitungan dua udah lari duluan!"

"Mata lo buta?" Gue berdecak kesal. Emang ya, cantik cantik pea ternyata. "Lo sama gue lari barengan. Lo nya aja yang lelet."

Jingga mendelik tidak terima, "dada gue sesak." Dia mengatur napas nya.

"Lo mau mati?" Tanya gue panik.

"Sialan!" Jingga melemparkan daun daunan yang berjatuhan di tanah. "Serius dada gue sesak!"

"Lo butuh napas buatan?" Gue membulatkan mata antusias, "gue bisa! Ayo!"

"Ervan!" Jingga berteriak kencang.

"Apa sayang?" Gue mengedipkan mata ganjen.

"Sayang, sayang pale lo!"

Gue tertawa keras, "kenapa? Toh gue yang menang atas pertaruhan ini." Gue memasang wajah tengil, "lo lupa? Kalau lo kalah, lo bakalan ikutin semua kemauan gue."

Jingga tersedar, lalu menghela napas kasar. "Mau apa lo dari gue?"

"Elo." Jawab gue enteng.

Seketika Jingga membolakan mata nya, "gue?"

Gue mengangguk santai, "iya lo."

"Pacaran?" Tanya Jingga dengan muka lugu.

Gue terkekeh gemas, "bukan, gue gak butuh pacar."

Jingga mengerutkan kedua alis nya, "terus?"

"Gue butuh lo jadi babu gue."

***

"Dari mana aja kalian berdua?"

Suara seorang lelaki terdengar sangat berat. Sontak gue sama Jingga menoleh kearah sumber suara itu.

Ternyata Rigo.

Kakak kelas atau lebih dikenal ketua panitia itu memasang wajah garang. Seperti tidak suka. Wajar, ini udah melanggar peraturan. Karena tidak boleh keluyuran tanpa ada izin dari panitia.

Yakali seorang Ervan harus minta izin dulu kalau mau taruhan.

"I-itu kak," Jingga menjawab gugup. Kedua tangannya bergerak gelisah.

Ya allah calon bini gue kenapa harus takut sih sama beginian doang.

"Gue sama dia abis cari udara sejuk aja, enggak jauh juga. Cuma di tepi danau sana." Gue menyahut cepat. Jingga terdiam. "Lagian kita berdua enggak berbuat yang aneh-aneh."

Rigo masih memasang wajah tidak percaya. Emang ye, muka-muka gue kayanya susah buat di percaya.

"Kamu kelompok mana? Siapa ketua panitianya?" Rigo menghampiri Jingga.

"Kelompok 9 kak, ketuanya kak Masya."

Rigo mengangguk, "kamu bener kan enggak di macem-macemin sama Ervan?"

"Astagfirullah!" Gue berjerit dramatis, "emang muka gue se-enggak bisa di percaya gitu kak?!" Gue melotot.

"Semua orang juga tau kalau elo mah hobi bikin onar mulu," Rigo memasang muka males, "yaudah Jingga kamu balik ke Villa, jangan mau kalau di ajak Ervan lagi, nanti di culik."

"Di culik ke KUA." Gue tersenyum genit ke arah Jingga.

Jingga memasang muka jijik.

"Hadeh adek nya si Dean gini amat perasaan." Rigo menggeleng, lalu menepuk pundak gue pelan. "Udah lo balik sana ke Villa, bentar lagi acara akan di mulai."

Gue membalikkan badan dan masuk menuju Villa penginapan. Ini masih pagi. Acara akan di mulai siang. Jadi gue punya waktu buat istirahat. Ternyata lomba lari bareng Jingga cape juga.

Gue masuk ke dalam kamar hendak mengambil perlengkapan mandi. Gerah kalau enggak mandi.

Sekali dorongan pintu terbuka lebar. Seperti biasa, di sana ada Raja dan Langit.

Emang ini orang berdua kayanya enggak ada kerjaan banget. Tiap gue liatin pasti lagi makan, kalau enggak makan ya tidur.

"Lo berdua pada enggak mandi?" Gue memandang satu persatu wajah mereka.

"Nanti aja lah." Langit membuang cangkang makanan, lalu memiringkan ponselnya. Bertanda dia sedang bermain game.

"Lo?" Kali ini gue menatap Raja.

"Gue sama air lagi marahan, jadi enggak dulu deh. Males air nya ngedinginin gue mulu." Cerocos Raja.

"Ja, Ja," gue tersenyum tertekan, "nama lo kebagusan buat otak lo yang enggak ada!"

"Kurang ajar lo!" Raja melemparkan bantalnya.

***

Jangan lupa untuk vote💗!

Dua Sejoli Where stories live. Discover now