SENGSARA SELAMA-LAMANYA

2.5K 60 5
                                    

Siska POV

Waktu terus bergulir, tepat di dalam sebuah rumah sakit yang sedari tadi hening tanpa sepatah kata pun. Dari ambang penglihatan, tampak kedetakan Revan dan Marissa membuat otakku panas.

Menanti akan hasil tes DNA yang akan dibawa dokter kehadapan kami semua, saat itu jugalah aku akan mengakhiri kehidupan mewahku di rumah Revan.

'Mampus aku ... sebentar lagi hidup ini akan berubah tiga ratus enam puluh derajat. Pokoknya, aku harus bisa menggagalkan dokter untuk memeriksa darah Refal. Ya, harus bisa.'

Setelah menggumam dalam hati, aku pun bangkit dari kursi tunggu dan melangkah pergi meninggalkan lokasi. Sementara yang lainnya, menatap bingung dengan gelagat ini yang sedari tadi memekik gelisah.

Akan tetapi, kali ini aku tak punya pilihan lain. Malam ini juga harus bisa mengambil tes darah hasil DNA yang ada di ruang praktikum laboratorium rumah sakit H. Anwar Mangunkusumo. Ketika dua langkah berjalan, tiba-tiba teriakan terdengar sangat keras.

"Siska!" panggil seseorang dengan nada suara wanita.

Langkah kaki berhenti dan menoleh siapa yang sedang memanggil, seketika kedua bola mata tercengang karena sang mama rupanya masih saja kepo tentang kepergian ini. Ia mendelik dan seperti tengah curiga padaku, akan tetapi masih memasang wajah biasa saja.

"Ini, Ma ... saya mau permisi ke kamar mandi," titahku, dengan membalikkan badan tanpa persetujuan.

"Ke kamar mandi atau kamu mau berbuat jahat lagi!" sambarnya dengan memekik perkataan.

"Mama, sama anak sendiri enggak percaya. Lagian, perbuatan jahat apa yang bisa saya lakukan. Sementara di sini ramai orang-orang," pungkasku, dan Revan pun tengah tidak peduli dengan apa yang saat ini aku alami.

'Brengsek Revan, bisa-bisanya ia enggak mau membela gue. Lagian si mama lagi, sama anak sendiri enggak ada percaya-percayanya sama sekali. Harusnya, jadi oranh tua itu dukung kalau anaknya mau berbuat apa pun.'

Tanpa balas kata, aku pun bergegas pergi meninggalkan mereka semua. Memasang wajah masam karena tak hanya gangguan dari mama aja yang datang, akan tetapi sang suami tengah bercengkerama mesrah pada Marissa dan anak perempuannya.

Melintasi anak tangga pertama, aku pun turun dan menoleh kanan dan kiri. Akan tetapi sampai saat ini enggak tahu di mana tempat untuk memeriksa tes DNA dilakukan. Otak terasa ingin pecah, karena sedari tadi berpikir keras seputar kehidupan yang akan berubah secapat ini.

Berkat ambisi dan akal yang muncul tanpa henti, akhirnya aku berjalan melintasi koridor sebelah kiri. Akses yang aku ambil juga satu-satunya menuju sebuah ruangan dengan cahaya sedikit redup. Orang-orang pun tak ada yang mau melintas di area tersebut, makanya aku tetap berjalan menelusuri ruangan.

Sekitar beberapa menit menoleh kanan dan kiri, kedua bola mata mendapati penglihatan yang tak lazim. Ya, apalagi kalau bukan sebuah ruangan dengan pintu sangat rapat dan dipenuhi berbagai alat medis kedokteran.

Dari luar jendela kaca, aku melihat banyak sekali darah yang tersusun rapi dalam sebuah kantong plastik. Sudah dapat dipastikan, bahwa ruang tes DNA terletak di ruangan tersebut.

'Pucuk dicinta, ulam pun tida. Akhirnya, perjuanganku untuk mencari ruangan laboratorium telah sampai pada titik terang. Sebentar lagi, aku akan memalsukan tes DNA dan membuat Refal adalah anak Revan,' celotehku dalam hati.

Membuka pintu rumah sakit dengan tangan kanan, aku pun bergegas masuk dan membiarkan pintu terbuka sangat lebar. Aku sengaja membuka pintu agar ketika keluar nanti dapat lebih cepat tanpa harus belama-lama membukanya.

Memasuki tiap sudut ruangan yang dipenuhi kantong berisikan darah, tiba-tiba kepalaku sangat pusing dan tak tahan pada bau amis yang masuk melalui rongga hidungku. Seketika penglihatan berpaling ke arah pintu ruangan yang tertutup sangat rapat, serta di sana seperti tengah ada sesuatu yang mencurigakan.

Melangkah kembali dan membuka ruangan di dalam ruangan. Kedua bola mata terheran dengan sebuah nakas yang berisikan beaker glass sangat rapi, sudah pasti itu adalah darah hasil dari tes orang-orang yang tadi telah diambil.

Membuka nakas tersebut perlahan, dan sangat mudah sekali akhirnya nakas membawaku pada posisi darah yang tersusun sangat rapi itu terlihat jelas. Berdasarkan tulisan di bawah beaker glass, tertera nama Refal, otomatis itu adalah darah milik anakku.

Dengan mengambil beaker glass bertuliskan nama Bram dan aku menukar isinya dengan nama Revan, maka dengan demikian tes tersebut akan membawa kehidupanku menuju masa depan cerah.

'Bram, kamu jangan bermain api padaku, mungkin sekarang kamu akan menangis karena hasil tesnya tak seperti apa yang kamu harapkan.'

Hati pun menggumam tanpa henti. Seketika, kedua telingaku mendengar seperti ada orang yang sedang masuk ke dalam ruangan. Dengan sigap, aku pun tiarap di bawah meja tempat praktik tersebut.

"Dok, siapa yang telah masuk ke dalam ruangan ini?" tanya perawat wanita dengan topi berwarna putih.

"Tidak ada yang masuk, tetapi kenapa pintunya terbuka sangat lebar? Coba kamu cek darah yang ada di ruangan itu."

Terdengar sebuah kaki memasuki tempat ketika aku sedang sembunyi di bawah meja. Perawat wanita itu pun berdiri di samping meja dan membuka nakas, ia menenteng tiga darah dari dalam beaker glass.

"Apa ada yang hilang?" tanya dokter pria itu.

"Tidak, Dok. Darah untuk hasil lab juga aman-aman aja, barangkali ada kucing yang masuk. Atau ...." perawat itu menjeda ucapannya.

Dari posisi di bawah meja, aku menelan ludah beberapa kali karena jantung tak mau berhenti berdetak. Barang kali ia curiga dengan sebuah bandana merah milikku yang terjatuh di depan pintu ruangan.

Tampak dari ujung penglihatan, bahwa perawat itu kembali berjalan dan mengambil bandana merah yang aku jatuhkan tadi.

'Haduh ... mampus gue, jangan sampai ia curiga dengan bandana merah itu. Bodoh banget gue ... bisa-bisanya terjatuh di sana lagi,' omelku dalam hati.

"Ada apa, Ris?" ucap dokter.

Seketika perawat itu membuang bandana merah di dalam tong sampah. "Ah, tidak ada apa-apa, Dok."

"Coba kamu masuk ke dalam dan ambil satu beaker glass lagi. Soalnya, kita masih membutuhkan dua benda itu," titah sang dokter.

Kemudian, perawat pun alih-alih kembali masuk dalam ruangan. Kali ini ia seperti tengah memperhatikan bagian bawah meja, posisi yang sekarang di mana aku berada. Tanpa menoleh, ia hanya mengambil selembar kertas yang terjatuh di lantai putih.

"Berkas ini kenapa bisa jatuh, sih. Kan, bahaya kalau sampai di tangan orang," ucapnya sendiri, lalu ia meletakkan berkas itu di dalam sebuah nakas penyimpanan.

Selang beberapa menit, perawat wanita bertopi putih keluar ruangan bersama dokter.

'Syukur ... mereka enggak curiga dan melihat gue! Coba aja kalau ketahuan, bisa-bisa masuk penjara gue.'

Tanpa basa-basi, aku pun keluar dari tempat peraembunyian saat ini. Berjalan mengendap-endap dan menutup pintu ruangan. Menggunakann tangan kanan, aku mengipas wajah yang dipenuhi keringat mengalir deras.

Setidaknya, walau terasa sangat menantang, akan tetapi hasilnya sesuai dengan apa yang aku inginkan saat ini. Langkah kaki pun kembali menaiki anak tangga lantai dua rumah sakit, tampak dari ambang penglihatan bahwa Marissa masih saja mesrah dengan sang suami.

Biarlah, aku memberikan waktu singkat ini untuknya sekarang. Sebelum nantinya, ia akan tersingkir dalam kehidupan Revan selama-lamanya.

'Ha ha ha ... rasain kamu Marissa. Enggak bakal kamu bisa hidup enak seperti dulu selagi masih ada aku, kamu akan sengsara hingga malaikat pencabut nyawa menemui akhir penderitaanmu,' batinku berkata.

Pasung Suami KejamWhere stories live. Discover now