Sebuah Rencana Tuhan

607 25 0
                                    

Malam itu, di sebuah rumah sakit H. Anwar Mangunkusumo. Aku berjalan mondar-mandir seraya menatap mantap pintu ruang dengan portal bertuliskan, Ruang Gawat Darurat. Aku kembali merumuskan sebuah pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi.

"Tuan ... duduk dulu sini," ajak Bi Ira dengan wajah sedikit lebih semringah.

Kemudian, aku mengikuti perkataan itu dan duduk bersanding dengannya. Ia pun mengambil kantong plastik berwarna biru muda, dan menyodorkan sesuatu padaku.

"Tuan ... makan dulu," timpalnya lagi.

Aku pun menggunakan dua tangan untuk menolak sodorannya. "Ah, enggak, Bi. Saya enggak lapar, Bibi aja yang makan."

"Tetapi, Tuan belum makan dari kemarin."

"Enggak usah, Bi. Saya sebentar lagi juga akan pulang, nanti makan di rumah aja. Ya, udah, Bibi makan dulu. Entar kalau pingsan di sini, malah bikin repot dokter lagi. He-he-he ...," ledekku dengan mengedarkan cengir pada lawan bicara.

"Ih, Tuan suka banget ngeledek. Ya, udah, kalau enggak mau makan."

Beberapa menit duduk dan bercanda, kedua telinga menangkap suara seseorang yang sedang berteriak histeris. Ya, suara itu terdengar dari dalam ruangan istriku yang ada di samping sebelah kiri. Seketika aku beranjak dari tempat duduk dan berlari menuju ruangan.

Dari balik pintu yang terbuat dari kaca, kelihatan jelas bahwa Marissa sedang menangis dan membuang semua bantal. Serta infus di tangannya juga ia lepas. Aku langsung berlari menuju ruang paling depan, seraya mencari dokter yang masih ada di sore ini.

Setelah sampai di sebuah koridor, dua orang dokter melintas bersama dengan perawat yang menenteng berkas berwarna hijau muda. Aku berlari menuju ke posisi mereka dan berhenti dengan napas yang ngos-ngosan.

"Dok! Tolong istri saya, Dok,"

"Tenang, Pak. Anda bicara pelan-pelan. Apa yang terjadi pada istri Anda?" tanyanya serius dan memberhentikan percakapan pada perawat wanita di sampingnya.

Karena napas sangat ngos-ngosan, aku hanya bisa menunjuk sebuah lorong ruang UGD dengan menggunakan tangan kanan.

Dokter dan perawat mendelik ke arah yang sedang aku tunjuk. "Di sana? Kenapa di sana, Pak?"

"Istri saya sedang membanting semua barang-barang di dalam ruangan."

Mendengar ucapanku, kedua dokter itu pun berlari menuju pusat sebuah insiden. Aku memandu di depan dengan berlari sedikit lambat, dari ambang penglihatan, Bi Ira sudah masuk untuk menenangkan Marissa. Sementara dua dokter sangat bingung hendak melakukan apa.

Mereka saling sapa pada sesama dokter. "Kita suntik obat penenang saja, Dok," kata salah satu dari meraka.

"Iya, kita suntik obat penenang," respons dokter di sebelahnya yang menggunakan kacamata bulat.

Ketika perawat wanita itu hendak menyuntikkan obat tersebut, Marissa menendang perut perawat hingga terjatuh di lantai. Kami pun menjadi panik dan tak bisa menenangkan Marissa yang selalu memberontak.

"Saya ingin pulang! Saya ingin bertemu dengan anak saya ...!" teriak Marissa dengan nada yang sangat histeris.

Aku pun mendekati tubuhnya dan mencoba untuk memberikan pandangan. "Sayang ... kamu tenang, kita akan pulang sebentar lagi," ucapku lirih.

"Saya mau pulang ... saya enggak mau berada di sini. Mana anak saya? Mana ...?" rengek Marissa bersama tangis yang tersedu-sedu.

Beberapa menit mengamuk, Marissa pingsan dengan sendirinya. Aku tak mampu tuk membendung air mata, yang menjadi impian kami sejak awal menikah adalah hadirnya keturunan hasil buah cinta yang kami perjuangkan dari dulu.

Akan tetapi, sepertinya Tuhan berkata lain. Dengan berat hati, akhirnya aku harus menerima kenyataan pahit ini bersama Marissa. Mungkin ia punya cara lain untuk membuat kami bahagia ke depannya. Itu adalah harapanku dalam kehidupan ini.

"Dok!" kupanggil salah seorang dokter yang menggunakan kacamata bulat.

"Ya, Pak. Ada apa?" responsnya.

"Bagaimana kalau saya membawa istri saya pulang saja. Soalnya ... ia dari tadi sudah memberontak dan ingin segera pulang ke rumah," ucapku penuh harap.

Lawan bicara tak mampu berkata, terlihat dari ekspresinya bahwa ia tengah menelan ludah berkali-kali dan menarik napas panjang.

"Baiklah, Pak. Anda bisa membawanya pulang, dengan syarat ...," ia menggantung ucapan sejenak.

"Apa syaratnya, Dok?" sambarku spontan

"Ketika ia mengalami sesuatu, segera hubungi kami. Takutnya, ia belum pulih benar. Apalagi ia sedang mengalami depresi yang luar biasa. Kalau bisa Anda jangan memberikan tekanan mental padanya," jawab dokter berkumis tipis itu.

"Baik, Dok. Saya akan segera lapor jika ia mengalami sesuatu di rumah."

Kedua dokter itu pun berhambur keluar ruang UGD. Dengan dibantu Bi Ira dan para perawat, kami membereskan tempat tidur yang sempat berserak. Menggunakan kursi dorong, perawat membawa tubuh Marissa menuju sebuah mobil pribadi milikku yang ada di parkiran rumah sakit.

Sementara aku, bergegas menuju tempat pembayaran semua biaya-biaya perobatan Marissa selama beberapa hari dirawat di rumah sakit. Setelah selesai, aku pun bergegas menuju mobil dan masuk di bangku paling depan. Sementara Marissa, duduk bersanding dengan Bi Ira di bangku belakang.

Tangan kanan membuka jendela mobil. "Mas, terima kasih sudah membantu," ucapku pada dua perawat laki-laki yang masih berdiri di samping mobil.

"Sama-sama, Pak."

Dengan mengangguk dua kali, aku menginjak gas mobil dengan frekwensi lambat. Meski memakan waktu lama, setidaknya semua aman-aman aja hingga sampai rumah. Setelah dua puluh menit berkendara lebih kurang, kami bertiga sampai di depan pintu gerbang.

Mobil memasuki halaman rumah dan kami berhenti di depan teras. Bersama dengan Bi Ira, aku mengangkat tubuh Marissa dan berjalan menuju kamar tidur. Ruangan yang sudah beberapa hari aku tinggalkan, terlihat seperti tak terurus lagi. Sementara istri tercinta masih tertidur pulas.

Beranjak keluar dari kamar, aku menuju ruang tamu dan duduk di kursi sofa berwarna hitam. Bi Ira datang setelah beberapa menit ke dapur, rupanya ia membawa sesuatu dan meletakkan satu gelas kopi hangat di atas meja.

"Tuan ... minum dulu kopinya," celetuk Bi Ira seraya menatap mantap wajahku.

"Iya, Bi. Terima kasih. Oh, ya, besok saya akan ada acara di rumah ini. Bibi bisa bantu-bantu, 'kan?" tanyaku.

"Acara apa, Tuan?" ia malah balik nanya.

"Ada syukuran. Soalnya, perusahaan mendapatkan sebuah rezeki. Sambil membuat syukuran kalau Marissa udah pulang lagi di rumah ini."

"Oh, bisa, Tuan. Makanannya, bibi yang masak? Atau Tuan pesan di luar."

Aku terdiam. Di sisi lain, tidak ingin merepotkan siapa pun di rumah ini. Akan tetapi, masakan Bi Ira sangat enak dan bisa diperhitungkan.

"Tuan ...."

"Eh, Bi." Seketika lamunan membuyar karena Bi Ira melambaikan tangannya.

"Bagaimana dengan masakannya?"

"Bi, saya bisa minta tolong untuk masak di rumah aja. Soalnya ... kalau beli di luar, takut rasanya enggak enak. Karena yang hadir adalah tamu-tamu dari perusahaan lain," pintaku seraya menurunkan nada suara sangat melas.

"Oh, bisa-bisa. Kalau begitu ... nanti Tuan berikan apa saja yang kau dimasak. Biar besok pagi, bibi belanja ke pasar."

"Oke, Bi."

Pasung Suami KejamWhere stories live. Discover now