Apakah Tuhan Itu Ada?

1.7K 45 0
                                    

"Selamat malam, Pak," ucap seseorang dari samping kiri. Ia adalah dokter yang menangani istriku di dalam ruang UGD.

Aku pun berdiri dari tempat duduk semula. "Eh, Dok."

"Jadi begini, Pak. Saya ingin mengatakan yang sebenarnya malam ini, akan tetapi tidak di sini."

"Iya, Dok."

"Mari, Pak. Ikut dengan saya ke ruangan," ajaknya dengan lembut dan tatapan wajah sangat semringah.

Aku pun mengikutinya dari belakang. Langkah yang semakin berat membuat diri ini tak mampu untuk berkata apa-apa. Bagai menelan ribuan kilogram jarum tajam, menusuk hati serta menyayat sebuah kenyataan.

Malam itu, di rumah sakit H. Anwar Mangunkusumo. Aku duduk di bangku berwarna hitam sebagai pendengar sebuah nasihat dari dokter yang tengah membawa sebuah informasi untuk istri tercinta.

Tatapan matanya membuatku seakan tak bisa berpaling, karena tampak sangat sedih dan ia sesekali menekan mulutnya dengan tangan kanan.

"Jadi begini, Pak. Anda yang sabar dalam menghadapi ini semua."

"Dok, jangan bertele-tele. Katakan secepatnya yang terjadi pada istri saya, Dok!" hardikku dengan nada suara ngegas.

"Oke-oke! Saya akan mengatakannya."

Aku yang kala itu berdiri dan menatap wajah dokter dari depan, seketika membanting tubuh untuk tetap tenang dan meredahkan emosi yang tak terkendali.

Ia menarik napas panjang dan membuang dari mulutnya. "Pak. Istri Anda pendarahan, dan anak yang di kandungannya telah gugur. Sekarang, istri Anda sedang kritis dan komah."

Seketika kepala ini seperti tengah diterpa hujan badai. Petir seakan menyambar otak dengan sebuah pernyataan tentang sebuah cerita yang tak ingin aku dengarkan. Tangan kanan memukul meja dengan sangat keras.

"Dok! Pasti Anda sedang bercanda, 'kan, pada saya? Coba jelaskan yang sebenarnya, enggak mungkin istri saya keguguran. Katakan, Dok!" kedua tanganku mencengkeram kerah baju lawan bicara dan menariknya dari tempat duduk.

"Pak, semua memang fakta. Anda sabar menghadapi ini semua, serahkan pada Allah. Karena ialah yang memberikan anugerah anak dan ia juga yang mengambilnya."

"Tapi ini kali ketiga saya gagal, Dok! Pokoknya Anda harus menyelamatkan anak saya, berapa pun biayanya, akan saya bayar asal janin itu tetap ada ...." Tangis itu mewarnai kisah kelam malam ini. Air mata seakan tak bisa menjelaskan apa yang terjadi.

Kulanglahkan kedua kaki dan berjalan menuju ruang UGD. Tepat di depan portal bertuliskan Ruang Gawat Darurat, aku berhenti seketika. Menoleh ke arah kiri dan menatap dari balik pintu kaca. Alat Elektrokardiogram atau disingkat dengan EKG berbunyi lambat.

Menyaksikan semua ini dengan kedua bola mata, aku memukul pintu ruang UGD dengan tangan kiri.

"Tidak mungkin aku kehilangan anak lagi."

"Ini adalah ketiga kalinya aku gagal menjadi seorang ayah."

"Ya, Tuhan ... apa salahku selama ini? Apakah kau benar-benar ada? Atau hanyalah sebuah anggapan semu untuk para umat yang memang memerima keadilan dalam hidup ini."

Merengek dan menangis, aku pun mengubah posisi menjadi jongkok hingga akhirnya tertidur di depan pintu ruang UGD.

***
Pagi telah tiba, tapakan kaki terdengar seperti mengarahku saat ini. Dalam samar, aku mencoba membuka kedua bola mata. Menatap penuh hati-hati pada orang-orang yang sudah berkumpul di depan ruang UGD.

Mereka menatapku dengan penuh keanehan. Rupanya aku telah tertidur hingga pagi hari. Lalu, kedua tangan mencoba untuk membangkitkan badan. Sebisa mungkin untuk tetap berdiri tegak dan menghapus air mata.

Kedua kaki menapak dengan penuh hati-hati menuju sebuah taman. Ya, tepat di depan ruang praktikum yang dipenuhi dengan berbagai bunga-bunga indah.

Bagaimana rasanya berdamai dengan waktu. Setelah semalaman meratapi dan mendikte akan kebesaran Tuhan yang entah kapan ia tunjukkan. Belum lagi harus menyaksikan sebuah peristiwa kehilangan seorang anak untuk yang ketiga kalinya.

Dari belakang tubuh, seseorang menyentuh pundakku perlahan. Seketika kutoleh siapa gerangan yang datang.

"Tuan, ini bibi bawa makanan dari rumah untuk mengganjal perut," celetuk Bi Ira yang saat ini bekerja sebagai asisten rumah tangga.

"Enggak, Bi. Saya tidak lapar." Setelah kutolak, pandangan kembali menatap pohon bunga Tanjung yang hidup dengan sangat rimbun.

"Tuan ... dari kemarin Tuan enggak makan. Nanti sakit," timpalnya lagi lagi seraya berkata sangat lirih.

Kedua bola mata kembali menoleh sosok wanita paruh baya yang ada di samping kiri. Ketika melihat wajah itu, aku terbayang dengan almarhumah ibuku dahulu. Ya, berusia hampir sama dengannya.

Tanpa balas kata, Bi Ira duduk di samping kanan. Aku pun menggeser tampat duduk agar ia bisa menemani kesedihan ini untuk sebentar saja.

Ia meletakkan sebungkus nasi di atas kursi. "Terkadang, kita seakan enggak percaya pencipta karena semua kejadian pahit itu selalu menimpah tanpa ada jeda. Akan tetapi, kita lebih enggak percaya kalau dunia ini ada jika ia tidak ada."

Sekilas, kutoleh ia dengan tatapan datar. Kemudian, aku menekan kepala dengan kedua tangan seraya menelan ludah berulang kali.

"Saya enggak menyangka kalau hidup saya seperti ini, Bi. Tiga kali gagal di satu peristiwa, kenapa harus saya yang mengalami ini semua?"

"Enggak cuma Tuan yang mengalami ini. Semua manusia pasti punya masalahnya masing-masing. Coba untuk melaksanakan salat dan memohon petunjuk pada-Nya."

Aku pun memeluk wanita paruh baya di samping kanan tubuh ini. Seakan tak mampu lagi untuk mengatakan apa yang tengah aku rasakan. Ya, mungkin selama ini aku menjalani hidup hanya mencintai rupiah saja, selalu melupakan-Nya yang memberikan rezeki.

Setelah lama berbincang, aku pun pamit pulang ke rumah. Sementara untuk menjaga sang istri di rumah sakit, sudah aku amanahkan pada Bi Ira. Berjalan menuju parkiran mobil, dan menginjak gas sangat kencang.

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit, aku sampai di rumah. Kemudian, aku membuka pintu dan menuju ruang kamar untuk melepas pakaian kerja yang telah dua puluh empat jam tidak dicuci.

Beberapa menit di rumah, azan berkumandang dan waktu salat magrib telah tiba. Aku pun segera melaksanakan wajib tiga rakaat. Tak lupa, untuk menyisipkan doa untuk kesembuhan istri di rumah sakit yang sedang menghadapi masa kritisnya.

"Ya, Allah ... ya, Tuhanku. Berikan hamba kekuatan untuk mengahadapi ini semua. Sesungguhnya engkau yang memberikan cobaan, dan engkau pula yang bisa meredahkan segalanya. Amin ...."

Sehabis melaksanakan salat, aku melipat sajadah berwarna hijau. Di tangan kiri, arloji menunjukkan pukul 19:00. Hanya meneguk segelas air mineral, aku pun kembali berlari menuju mobil.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, sesekali kedua bola mata menoleh ke arah kanan jalan. Saat itu, sepasang suami dan istri melangkah mesrah dengan bayinya di depan sebuah supermarket.

Aku pun memutar isi kepala. 'Seandainya gue punya anak seperti meraka ... pasti hidup gue akan lebih berwarna dan sempurnalah aku sebagai seorang suami,' celotehku dalam hati.

Malam ini, tepat di pusat kota. Aku berhenti di salah satu toko penjualan alat perlengkapan bayi. Ya, membuka pintu mobil dan melangkah masuk ke dalam toko tersebut.

Kedua bola mata dimanjakan dengan sebuah penglihatan seputar pakaian perlengkapan, kelambu warna-warni, serta sepeda yang menarik hati ini untuk membeli.

Berjalan lebih jauh menelusuri toko perlengkapan bayi, air mata menetes dengan sendirinya setelah berhenti di salah satu mainan mobil-mobilan berwarna merah tua. Seperti yang tertera dalam USG beberapa hari lalu, mengatakan kalau aku akan memiliki anak laki-laki.

Perasaan senang itu berubah menjadi sebuah momok mengerikan dalam hidup ini. Belum lagi sang waktu tengah mempermainkan perasaan yang tak kunjung menerima kenyataan.

Pasung Suami KejamWhere stories live. Discover now