Istri Kedua Suamiku

866 31 0
                                    

Marrisa POV

Hari berganti hari, musim juga turut serta dalam mengambil bagiannya dalam hidup ini. Seperti aku yang sekarang mulai bisa merasakan bahwa ingatan itu pulih, sebenarnya aku sudah bisa merasakan betapa sang suami ingin mengkhianati janji sucinya di depan penghulu dulu.

Sekitar dua minggu yang lalu, aku mencoba untuk pura-pura gila agar ia murka. Membuat perkara agar emosinya memuncak, aku sengaja melakukan itu semata-mata ingin menguji tingkat kesabarannya dalam merawatku.

Akan tetapi, sang waktu berkata lain. Ia malah memasung kedua kakiku sangat erat dan membelenggu menggunakan rantai besi, tetapi aku tak terima semua ini. Di sepertiga malam selalu aku lantunkan doa suci untuk kesadaran sang suami yang sepertinya sudah memiliki wanita lain, aku sadar bahwa ia meminta izin menikah lagi.

Di kala itu, aku sengaja berpura-pura tidak menanggapinya. Karena dari sana aku ingin melihat bahwa kesabaran itu diuji, semua berubah sejak sang suami memilih untuk menikahi—Siska—sekretarisnya di perusahaan milik ayahku. Sungguh manusia tak punya malu, hidup masih tergantung dengan harta orang lain tapi memperlakukan pemilik seperti hewan.

Mengambil napas panjang, dan mengembuskan dari mulut beberapa kali. Kedua telinga mendengar langkah kaki seseorang tengah menuju ke kamar tempat penyekapanku, sudah dapat ditebak kalau orang itu adalah Bi Ira.

Siapa lagi yang mau datang ke ruangan berbentuk persegi empat ini, sangat kumuh dan jorok penuh dengan kotoran. Beberapa menit aku berkata dalam hati, rupanya pemikiran itu benar. Wanita paruh baya yang selalu mengikat rambutnya dengan tali rafia datang, ia menenteng sebuah makanan dan minuman sebagai rutinitasnya setiap hari.

Turun melalui anak tangga yang terjal, wanita yang aku anggap sebagai malaikat di dunia itu datang dengan sangat ikhlas merawat. Kini, ingatanku sudah pulih sepenuhnya. Dan permainan yang sesungguhnya baru akan dimulai hari ini, tepat pada sebuah keadaan yang sekarang aku alami.

Ternyata selama dipasung dalam kamar, aku sudah memiliki janin yang berusia beberapa hari. Meski sebelumnya pernah gugur, Tuhan memberikan jalan untuk aku mengungkap segalanya sekarang.

Sesampainya di samping kanan, wanita paruh baya itu meletakkan makanan dan membersihkan tubuhku perlahan. Membasuh di seluruh tubuh dan memberikan pakaian yang bagus, pancaran wajahnya tampak sangat bercahaya.

"Nyonya, yuk, makan," katanya, lalu ia mengodorkan sendok berisi nasi dan sayur.

Aku membuka mulut dan menatap dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca. "Bi, terima kasih selama ini sudah mau merawat saya dengan senang hati."

Deg—

Mendengar ucapan itu, Bi Ira menatap tajam ke arahku. Ia seakan enggak percaya bahwa akhirnya aku bersuara setelah beberapa bulan membungkam, karena memang hari ini mulut terasa sangat ringan dan ingatan pulih sepenuhnya.

"Bi ... kenapa melihat saya seperti itu?" kutanya ia seraya membuang senyum semringah.

"Nyo-Nyonya ...."

"Iya ... kenapa dengan saya?" lanjutku dengan wajah penuh kemenangan.

Dari depan penglihatan, wanita paruh baya itu menatap wajahku dengan mata girang. Ia pun terpaku dan hanya fokus menatap. Sementara sendok di tangan kirinya terjatuh, kemudian aku mengambil sendok itu dan menyodorkan padanya.

"Nyonya ...."

Untuk membalas ucapannya, aku mengangangguk dua kali. Air mata wanita paruh baya itu menetes, dengan menggunakan tangan kanan, aku menghapus dan menyentuh wajahnya yang masih melamun.

"Bi ...," kupanggil singkat, lalu lawan bicara membuyarkan lamunannya.

"Nyonya, benarkah? Bibi enggak salah lihat?" tanyanya bertubi-tubi.

Pasung Suami KejamWhere stories live. Discover now