Awal Permainan Yang Sesungguhnya

1K 27 0
                                    

Anissa POV

Malam itu, aku pulang dengan ditemani oleh Refal. Sebenarnya terpaksa, akan tetapi ajakannya itu tak mampu untuk tolak. Sesampainya di depan halte, aku pun berteriak sangat keras.

"Stop ...!"

Seketika Refal menginjak rem mobil secara tiba-tiba. "Duh ... hampir saja nabrak pohon," ucapnya, lalu ia menoleh ke arah wajahku penuh dengan hati-hati.

"Fal, gue berhenti di sini aja," paparku seraya membuka pintu mobil dengan perlahan.

"Nis, kenapa enggak gue antar sampai rumah aja. Sekarang udah larut malam, kalau lu kenapa-kenapa bagaimana?" desaknya, lalu dari ekspresi Refal terlihat tengah mengernyit kedua alis secara bersamaan.

'Fal, maafin gue. Kalau lu tahu yang sebenarnya, pasti lu akan kecewa banget kenal gue. Fal, gue ini adik lu. Kita satu ayah, akan tetapi gue enggak akan memberitahu sekarang, sebelum misi gue untuk membuat nyokap lu dan bokap kita jera. Lima belas tahun gue melihat kepedihan nyokap gue yang dipasung,' batinku berkata.

Tanpa membalas ucapannya, aku pun keluar mobil dan berlari meninggalkan lokasi. Namun, Refal bukan pulang ke rumahnya, ia malah keluar dari mobil dan mengejarku. Tepat di bawah pohon bunga Tanjung, disaksikan oleh bintang-bintang dan rembulan malam.

Pemuda berkumis tipis itu menarik tangan kananku sangat erat. Kemudian, aku menoleh ke arahnya seketika. Langkah kaki pun sontak berhenti, dengan sedikit memberontak seketika aku melepas tangannya.

"Eh, maaf, Nis."

Dari depan lawan bicara, aku menadahkan kepala menuju aspal. "Fal, gue bisa pulang sendirian. Tolong jangan ikuti gue lagi," pungkasku. Pemuda di hadapan seperti tengah kecewa, akan tetapi aku tak peduli dengan gelagatnya.

"Nis. Gue pengen kenal sama lu. Gue ingin kita dekat dan berteman, apa itu salah."

"Salah!"

"Emang gue salah apa sama lu, Nis. Bukankah, sewaktu kita duduk di sekolah dasar—lu baik banget sama gue. Kenapa sekarang jadi berubah gini." Refal pun menaikkan nada suaranya, ia sedikit ngegas dalam berucap.

"Fal, kita baru aja kenal. Sewaktu sekolah dasar itu hanyalah kebetulan, dan sekarang juga kebetulan."

"Tapi, Nis—"

"Fal! Gue mohon. Kalau lu masih mau berteman sama gue, biarkan sekarang gue pergi dan jangan lu kejar lagi. Paham!" hardikku. Kemudian dengan tangan kanan, aku memperbaiki jilbab yang sempat berantakan.

Refal pun membuang tatapannya menuju rembulan, ia membanting tubuh di atas kursi halte. Dalam samar, aku sesekali melirik pemuda berkumis tipis itu dari kejauhan. Mengambil jalan dengan jalur arah berbeda, aku pun sampai di depan ruangan tempat sang mama dipasung.

'Fal, maafin gue. Sebenarnya kita satu darah. Lu enggak boleh jatuh cinta sama gue, lu harus menjauhi gue. Karena lu itu abang gue,' batin berkata.

Seketika air mata menetes setelah sampai di depan pintu. Akses kedua menuju ruang bawah tanah terletak di belakang gudang rumah.

Aku pun membatin lagi. 'Fal, sebenarnya kita tinggal satu rumah. Hidup dalam ruang lingkup yang sama. Lu enggak tahu kalau—gue—adik lu telah hidup tujuh belas tahun di rumah milik nyokap gue sekarang. Wait-wait, gue enggak boleh lemah dengan keadaan ini. Pokoknya, Refal harus mencintai gue dan dendam nyokap segera terbalaskan. Ya, itu tujuan awal.'

Memasuki pintu ruangan, aku berjalan seraya merundukkan kepala. Dari ambang penglihatan, sang mama sudah tertidur pulas. Namun, setelah mendengar suara tapak kakiku, ia bangun dan membuka mata sangat lebar.

Pasung Suami KejamWhere stories live. Discover now