PRIA MISTERIUS ITU DATANG

808 30 2
                                    

Hari demi hari berlalu, putra tercinta pun kembali pulih dari operasinya yang tengah berurusan dengan nyawa. Namun, sampai saat ini aku tak bisa meninggalkannya di rumah sakit bersama dengan sang istri dan ibu mertua. Entah mengapa, untuk satu jam saja tanpanya aku terasa sangat hampa.

Kemudian, tepat di samping tubuh putra semata wayangku. Kedua bola mata memdelik setelah mendapati sebuah penglihatan yang tak biasanya. Ya, Refal pun menggerakkan tangan kanannnya dan menyentuh rambutku sangat perlahan.

"Ayah ...," ucapnya sangat lirih, kemudian putra semata wayang yang memiliki ketampanan tak berbeda jauh denganku itu menoleh kanan dan kiri.

Karena aku pagi itu sudah bangun, tanpa menyuruh sang istri masuk dari kursi tunggu luar dengan sigap aku melayani pembicaraan pagi ini.

"Nak, ini ayah, Sayang. Apa yang kamu rasain saat ini?" jawabku seraya melempar pertanyaan padanya.

Tampak dari ujung penglihatan bahwa ia sedang menarik napas panjang, kedua bola matanya seperti tengah kebingungan dan mencari sesuatu.

Lalu, dengan sangat lambat, ia kembali membuka mulutnya. "Ayah ... Anissa ke mana? Dari tadi enggak Refal lihat?" katanya spontan.

Mendengar ucapan itu, aku memalingkan penglihatan ke arah arloji yang ada di atas nakas meja ruangan. Untuk menjawab pertanyaannya kali ini aku tak mampu, apalagi memberikan penjelasan yang pasti kalau—Anissa—kekasihnya sejak beberapa hari tak hadir di rumah sakit ini.

"Ayah, kenapa diam?" lanjutnya, lalu ia pun mengembuskan napas sangat ngos-ngosan.

"Nak, Anissa dan ibunya tidak hadir di rumah sakit ini untuk menjengukmu," jelasku, kemudian air mata keluar secara bersamaan dari lekuk pipi putra tercinta.

Ia memekik gelisah dan ingin untuk mengubah posisi duduknya. "Ach ...," ringisnya.

"Nak, jangan paksakan untuk duduk. Kamu belum sehat benar, Nak."

"Yah! Tolong bawa Anissa ke tempat ini sekarang," paksanya seraya menekan suara ngegas.

"Sayang ... ayah harus mencari mereka di mana? Karena sampai saat ini mereka tak pernah ayah lihat."

"Refal enggak peduli, Yah!" sambarnya, dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, posisi badan pun berubah menjadi duduk.

Dari hadapannya, aku tak mampu mencegah semua yang ia inginkan. Air mata memgalir deras dari lekuk pipiku. "Nak, luka operasimu belum sembuh total. Jangan banyak bergerak, nanti kamu bisa celaka ...."

"Refal enggak peduli, Yah ... yang Refal mau adalah Anissa ada di sini dan Tante Marissa. Mengapa Ayah begitu berat untuk membawa mereka ke rumah sakit ini?" desaknya, ucapan seketika membungkam.

Persiteruan pun terjadi, tanpa ada yang mendengar di ruang UGD, aku dan putra tercinta membahas seputar kehidupan ini yang susah untuk dijelaskan. Bagaimana tidak, untuk memberikan pandangan yang sebenarnya terjadi saja aku tak mampu.

Bagaimana bisa mulut ini mencetuskan kalau Anissa adalah saudara kandung dengannya. Bahwa gadis berjilbab itu yang sekarang menjadi pacarnya adalah satu darah denganku. Mungkin dengan memberitahu akan hal itu, ia bisa tambah sakit untuk menerima kenyataan ini. Apalagi, ia masih belum sembuh dari operasinya.

'Oh, Tuhan ... tolong hamba. Apa yang harus hamba katakan saat ini. Beginikah ujian itu kau limpahkan, tanpa ada jeda semua terjadi secara bertubi-tubi,' batinku berkata.

Dari posisi penglihatan, tampak Refal tengah gelisah dan menatap tangannya yang tengah tertusuk jarum infus. Aku pun berkata seketika padanya. "Nak, kamu jangan nekat untuk menyakiti diri sendiri."

Pasung Suami KejamWhere stories live. Discover now