INNESTABLE

588 21 0
                                    

Siska POV

Malam itu, di sebuah rumah mewah tepatnya berada di sekitar kawasan pusat kota Medan. Aku sengaja pergi menuju rumah Revan, membawa pengacara dan juga menenteng berkas-berkas hasil pemeriksaan rumah sakit. Seperti yang sudah tertulis dalam dokumen berwarna putih itu, menyatakan bahwa aku tengah mengandung anak dari Revan.

Memasuki pintu gerbang, para pengacara menggunakan jas hitam dilengkapi dengan kacamata. Kami pun bergegas memasuki rumah yang luasnya seperti istana.

Bisa dibilang, bahwa kekayaan Revan melebihi pria pada umumnya seantero kota Medan. Tanpa berkata apa pun, aku menuju ruang tengah tanpa membuka sepatu hak tinggi melintasi beberapa lukisan berkelas.

Kedua bola mata menoleh ke kanan dan ke kiri, aku langsung duduk di atas kursi sofa berwarna hitam. Dari arah belakang badan, telinga menangkap seperti suara seorang wanita tengah menimang buah hati.

Kemudian, aku mengernyitkan alis dan batin berkata, 'itu suara wanita bernyanyi lagu anak-anak, bukannya di rumah ini enggak ada bayi? Lalu, siapa yang melahirkan?'

Selang beberapa menit setelahnya, sosok wanita dengan rambut acak-acakan berdiri tegap sambil menggendong boneka berambut pirang. Ia adalah Marissa—istri—Revan yang sedang bernyanyi tanpa henti, dengan saling tukar tatap pada kedua pengacara di hadapan, mereka pun meringis geli melihat tingkah Marissa yang sangat aneh.

Lalu, aku memberikan kode suara kecil untuk memanggil wanita berpakaian compang-camping itu. Pemberian kode pertama sia-sia, karena ia masih bersikeras dengan bonekanya.

Kucoba mengkode untuk kedua kalinya, ia pun menoleh dengan tatapan tajam, ia berkata dengan nada negegas. "Apa kamu lihat-lihat!"

Seraya mengubah posisi menjadi berdiri, langkah kaki membawa tubuhku menemui Marissa dan berada tepat di hadapannya.

"Mar, lu jadi gila sekarang? Dulu ... gaya lu udah melebihi primadona dunia di SMA, wanita tercantik nomor satu seantero jagat raya. Rupanya ... sekarang jadi gila seperti ini." Setelah meringis geli, aku menyentuh rambutnya dan mengayunkan beberapa kali.

Menggunakan tangan kanan, kurampas boneka yang berada dipelukannya. Ia pun mendelik dengan tatapan tajam, kemudian menarik napas panjang.

"Kembalikan anak saya, atau kamu akan—"

"Akan apa, Marissa! Lu berani sama gue!" hardikku menaikkan nada suara, kemudian boneka di tangan kiri sengaja aku jatuhkan.

"Ups! Sorry ... gue enggak sengaja membuat anak lu jatuh. Ha ha ha ... bego banget. Boneka, kok, dibilang anak," lanjutku dengan wajah penuh kemenangan.

Tanpa membalas, Marissa menampar pipi kananku hingga tatapan itu terbuang menuju lantai.

Plak!

Seketika aku meringis bersama rambut yang sudah berantakan. Pukulan itu mendarat dengan sangat keras. "Ach ...."

Kemudian, wanita berbandana merah itu menarik rambutku dan mengacak-acak tanpa henti. Karena tak terima, akhirnya emosi di jiwa ini menjadi sangat klimaks. Alhasil, kami berdua saling jambak-menjambak rambut.

"Dasar perempuan gila!"

"Kamu yang gila," balasnya seraya menarik kerah bajuku sampai kancing bagian atas lepas entah ke mana.

Dari samping kanan dan kiri, pengacara pun melerai pertikaian. Namun, kami masih saja menjalankan aksi momen seumur hidup sekali tepat pada malam ini. Beberapa menit saling cakar, akhirnya Revan datang dan menarik tangan kiriku dengan sangat keras.

"Siska! Kamu apa-apaan, sih! Berantem sama istri saya?" tanyanya seraya menaikkan satu nada suara, terdengar sedikit mengayun tetapi tetap sakit menusuk palung hati.

"Lihat, Van!" Menggunakan satu jari, aku menujuk wajah Marissa

"Istri gila kamu ini merobek baju dan menampar pipi gue!" lanjutku dengan wajah penuh kemenangan.

Pemuda tampan itu pun menarik tangan istrinya. Dengan hempasan keras, Marrisa menepis tangan sang suami.

"Ia sudah membanting anak saya." Marissa pun mengubah posisi menjadi jongkok, kemudian mengambil boneka itu di atas lantai. Melanjutkan nyanyian yang telah tertunda, tampak dari wajahnya bahwa ia sedang depresi berat.

'Dasar perempuan gila, lagian Revan bodoh banget jadi suami. Orang seperti ini masih dipertahankan, masih bagus juga gue. Selain cantik, bisa memberikan ia keturunan,' celotehku dalam hati.

Pemuda yang berada di samping kiri, menoleh kanan dan kiri. Dengan tatapan mantap, wajah ini mendongak memandang kumis tipis sugar daddy di depan mata.

"Bi Ira ... Diman ...!" teriak Revan memanggil para pembantunya di rumah.

Hampir tiga menit lebih kurang, pemilik nama yang sedari tadi dipanggil datang. Dua orang itu pun berdiri tegap seperti tengah membentuk sebuah formasi bodyguard, wanita paruh baya yang berada di samping kiri dan pria sebagai penjaga rumah Revan terlihat saling siku.

"Tuan ... ada apa, ya, memanggil kami?" ucap wanita yang masih membawa sendok, rupanya ia sedang mencuci piring.

"Diman! Bi Ira! Kalian bawa Marissa ke dalam kamar," suruh pemuda berkumis tipis yang tingkat ketampanannya keterlaluan, bisa dibilang ia adalah pesona luar biasa untuk ukuran pemuda yang ada di tanah air.

Kedua pembantu itu pun langsung menggandeng tangan Marissa dari sebelah kanan dan kiri.

"Nyonya, ayo, kita masuk aja."

"Iya, Nyah! Kita kembali ke kamar."

Mereka berdua berhasil membawa wanita gila itu jauh dari hadapan kami. Kemudian, Revan menukar tatap menuju wajahku. Ia seperti tengah memekik gelisah sedari tadi, mungkin karena malu akan sikap istrinya pada tamu yang berhadir di rumahnya.

Tanpa ragu lagi, aku memeluk tubuh muscle yang ada di samping kiri. Akan tetapi, Revan tetap dalam posisi tanpa mau membalas pelukan, setelah suara keluar sedikit merintih sedih barulah ia tergugah untuk mengelus rambut panjang ini secara perlahan.

"Sis, udah jangan sedih lagi. Maafin istri saya tadi," katanya seraya menarik tangan kiriku untuk menuju sofa di ruang tamu.

Tepat duduk di posisi bersebelahan dengan Revan, aku sesekali melirik penuh hati-hati padanya. Ia pun mulai menarik napas panjang, sepertinya akan berkata sesuatu.

"Maaf, Pak. Sebelumnya saya mau bertanya, ada apa datang malam-malam begini ke rumah saya?" Selesai berkata, Revan membuang tatapan sangat penasaran. Akan tetapi, masih memasang wajah serius.

"Jadi begini, Pak. Maksud dan tujuan kedatangan kami ke rumah ini adalah, untuk menyelesaikan pengaduhan Ibu Siska," balas salah seorang dari mereka yang menggunakan kacamata hitam.

Revan pun menggeleng dua kali, ia pun langsung melirik wajahku yang masih menadahkan tatapan menuju lantai.

"Maksudnya, pengaduhan prihal apa, ya? Saya benar-benar tidak mengerti akan semua ini."

"Jadi begini, Pak. Bu Siska melaporkan kepada kami seputar kehamilannya yang sekarang tengah mengandung anak Anda. Sehingga, beliau menginginkan agar Anda segera menikahinya dan bertangung jawab," jelasnya memaparkan semua yang menjadi sumber masalah itu.

Dari samping kiri, pengacara berkacamata bulat itu angkat bicara juga. "Apakah Bapak bisa melaksanakan tanggung jawab itu dan segera menikahi Ibu Siska, karena kalau tidak—"

"Kalau tidak kenapa?" sambar Revan secara spontan.

"Kalau tidak ... kita akan membawa kasus ini ke jalan hukum, karena Anda telah melakukan pelecehan seksual kepada Ibu Siska di sebuah hotel berbintang, Sabtu malam."

Aku sesekali melirik kedua wajah pengacara yang sengaja dibayar mahal, rupanya mereka paling mengerti apa mauku malam ini. Membuang sedikit senyum semringah dan posisi duduk pun bergeser mendekati tubuh Revan yang sedang berpikir keras.

'Yes! Akhirnya, apa yang aku rencanakan selama ini berjalan dengan mulus. Sebentar lagi rumah mewah ini beserta isinya akan menjadi milikku,' batin berkata sambil menatap seluruh isi rumah yang telah tertata sangat rapi.

Revan pun tak mampu berkata apa-apa, ia hanya terdiam seraya menyentuh dagunya menggunakan tangan kanan.

Pasung Suami KejamWhere stories live. Discover now