Bab 22 - end

1.9K 103 17
                                    

Terhitung lebih dari dua puluh satu hari, Arkha hidup di rumah itu tanpa Delima. Sendiri. Selama itu pula setiap minggunya ia tak pernah pulang lagi ke kota asalnya. Ia hanya mengurung diri di kamar lantai satu, yang biasa ditempati oleh Delima selama mereka menikah. Ia bahkan tak mengizinkan bi Nunik untuk membersihkan kamar itu karena takut aroma khas Delima akan menghilang nantinya. Arkha seperti putus harapan, namun sejak tiga minggu belakang, ia menjadi lebih dekat dengan Bagas dan Sita. Mereka paham, bahwa Arkha sedang kehilangan semangat hidupnya dan butuh pertolongan, terlebih ia tak punya siapa-siapa di kota ini. Merekalah yang menjadi support system Arkha saat ini. Mereka ingin Delima dan Arkha kembali bersama. Mereka yakin kalau dua orang sahabatnya itu masih saling mencintai dan membutuhkan, terlebih bayi mereka yang sedang dikandung oleh Delima.

Sudah sejak pagi bi Nunik mengetuk pintu kamar Arkha, namun tak ada sahutan. Kamar itu terkunci dari dalam. Padahal saat itu jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang, tandanya bi Nunik sudah mengetuk pintu itu berulang kali selama hampir lima jam. Di ruang tengah Bagas duduk sambil tangan kirinya mengurut pelipisnya yang pening. Tangan kanannya terus memencet-mencet layar ponsel, berusaha menghubungi Arkha namun tidak tersambung, sepertinya ponsel Arkha mati. Sedangkan Sita tampak mondar-mandir di depan TV, mencoba menelfon Delima. Sudah lebih dari duapuluh kali percobaan, Delima baru mengangkat telfon darinya. Ia terpekik sambil mendekatkan ponselnya ke telinga.

" Halo del "

" Arkha sejak pagi tak keluar kamar, kamu harus ke sini. Kami semua khawatir terjadi apa-apa "

" Tolong "

" Arkha sangat mencintaimu....ia menyesal "

" Arkha makan mie instan setiap hari "

" Seperti orang gila "

" Aku mohon kamu datang "

Hening

" Oke, aku tunggu "

Sita menutup telfonnya, hatinya sedikit lega karena Delima bilang, ia akan berusaha pergi ke sana. Tampak sekali dari suara Delima yang parau, bahwa ia tak kalah khawatirnya.

Entah bagaimana caranya, pukul setengah enam sore Delima sudah sampai di rumah, begitu ia membuka pintu depan, ia melihat Bagas dan Sita yang menoleh secara bersamaan ke arahnya, tergambar jelas raut muka mereka saat ini diselimuti gurat kekhawatiran. Mereka menghembuskan napas pelan saat melihat Delima mulai memasuki rumah.

" Bi Nunik sudah pulang tadi jam empat, anaknya sakit. Jadi dia tidak bisa lebih lama di sini ". Ucap Sita memecah keheningan

" Apa yang harus aku lakukan? ". Tanya Delima Pelan

" Kau seharusnya punya kunci cadangan. Ia ada di kamarmu ".

Delima berjalan pelan ke arah kamar, langkahnya gemetar, ia rindu Arkha. Ia takut Arkha tak baik-baik saja. Tangannya merogoh saku tas, mengeluarkan kunci, memasukkannya ke lubang kunci, kemudian memutar knop pintunya.

Cklek

Ia menyingkap pintu kamarnya. Pengap. Gorden dan jendelanya tertutup rapat dan gelap. Delima melangkah memasuki kamar, mendapati Arkha sedang duduk di pojok kamar, membenamkan muka diantara kedua kakinya yang tertekuk. Puntung rokok dan botol bekas air mineral berserakan di lantai kamar. Arkha mengangkat wajahnya begitu Delima masuk. Rambutnya berantakan, pipinya samar-samar ditumbuhi cambang. Matanya redup, sedih, lelah.

" Mas Arkha " . Delima berbisik, matanya basah. Ia tak tahan melihat keadaan suaminya saat ini. Ia melangkahkan kakinya cepat mendekati Arkha. Memeluknya. Sangat erat.

" Apa yang mas lakukan di sini? ". Delima terisak

Arkha memandang lemah ke dalam mata nanar Delima.

Beautiful LiesWhere stories live. Discover now